Sunday, June 6, 2010

Kecerdasan, Belajar, dan Penuaan

Kecerdasan, Belajar, dan Penuaan


Dalam menyelidiki belajar bersama dengan penuaan, para teoretikus menekankan perencanaan perubahan yang terjadi pada kecerdasan, ingatan, pemikiran, dan kreativitas ketika orang dewasa tumbuh menjadi tua. Sayangnya, banyak riset ‘mengikuti orientasi budaya kita dalam memusatkan pada aspek penuaan yang melemahkan badan….Tentu saja itu merupakan indikasi bahwa penuaan berhubungan dengan pertumbuhan atau fungsi yang meningkat dalam beberapa bidang.” Pembahasan tentang fungsi dan penuaan intelektual berikut menunjukkan suatu pandangan yang agak optimis, bahwa pengetahuan yang kemampuannya dipelihara serta penurunannya dapat dipakai untuk membantu dalam berakomodasi dan beradaptasi dengan perubahan seperti itu.


Menurut sejarah, para peneliti telah meneliti belajar dan penuaan dengan memetakan perubahan dalam fungsi kecerdasan. Namun usaha untuk mengukur kecerdasan orang dewasa telah mengalami kekurangan konsensus mengenai apa yang sedang diukur. Birren menjelaskan bahwa kenyataannya kecerdasan tidak akan tetap sepanjang hidup. Bagi anak-anak, “kecerdasan adalah variabel yang menentukan batas atas penguasaan atau tingkat penguasaan kurikulum sekolah.” Namun fungsi orang dewasa yang efektif bisa menjadi “kemampuan yang menyebabkan hubungan dengan orang lain terlaksana, biasanya dengan pemakaian kata-kata yang efektif.” Birren terus berspekulasi bahwa “jika kecerdasan/inteligensi sosial ditekankan sebagai kriteria kecerdasan orang dewasa, maka ukuran pemahaman verbal dapat ditimbang lebih berat dari ukuran fungsi perseptual.”


Karya penting yang pertama tentang kecerdasan orang dewasa diterbitkan oleh E. L. Thorndike pada tahun 1928. Bertentangan dengan pemikiran umum, penyelidikannya yang sistimatis tentang kemampuan orang dewasa untuk belajar menunjukkan bahwa orang dewasa dapat belajar dan bahwa kecerdasan tidak menurun secara signifikan bersama usia. Evaluasi yang optimis seperti itu berkembang meski terdapat kenyataan bahwa eksperimennya melibatkan faktor-faktor yang telah ditunjukkan untuk memberi gambaran negatif belajar dan penuaan. Studinya adalah cross-sectional yang menguji kelompok muda dibandingkan kelompok tua. Kebanyakan hasil studinya berdasarkan pada tugas yang dibatasi waktu dan/atau tugas motor, dan tugas yang dipilih tidak begitu berarti bagi partisipan (contohnya belajar menulis dengan tangan kiri atau menghafal bahasa yang dibuat-buat).


Yang lebih menarik terutama bagi para pendidik dewasa adalah pendapat Thorndike bahwa faktor-faktor selain kecerdasan dapat mempengaruhi belajar orang dewasa secara signifikan. Thorndike membuktikan bahwa kesehatan dan kekuatan umum, minat belajar, dan kesempatan sebagai faktor yang bisa mempengaruhi kuantitas belajar orang dewasa. Ia juga melihat bahwa “orang dewasa belajar jauh lebih kurang dari yang seharusnya karena perhatian dan komentar yang tidak menyenangkan.” McLeish memperhatikan perspektif Thorndike berkenaan dengan belajar orang dewasa:


Pembelajaran orang dewasa adalah semacam Deklarasi Hak-hak orang Dewasa Sedunia untuk Belajar. Thorndike menghendaki masyarakat dimana akan ada pembagian kembali jam-jam pengalaman belajar formal, sehingga ini bisa disebarkan kedalam dan lewat kehidupan orang dewasa. Ia melihat betapa seringnya muatan dan strategi pengajaran tidak cukup untuk pelajar dewasa. Ia menyebutkan perlunya kemampuan konseling untuk orang dewasa, konseling untuk dewasa oleh kawan sebaya untuk mereka yang keraguannya untuk belajar atau sering hilangnya semangat belajar mengganggu petualangan belajar mereka. Ia mendorong sebuah pendekatan yang lebih pantas untuk “dropout” dari kelompok dewasa, mungkin orang dewasa kebetulan tahu apa yang ia perlukan dan yang tidak, atau mungkin terdapat pesan untuk instruktur dan institusi….Dan Thorndike menyesalkan orang-orang yang memberlakukan tes untuk orang dewasa yang disyahkan dan distandarkan untuk anak-anak dan penggunaan di sekolah.


Keberatan Thorndike pada penggunaan tes IQ yang dirancang untuk anak-anak digunakan juga untuk orang dewasa hampir tidak diperhatikan selama paruh pertama abad 20. Ketika Binet mengembangkan tesnya untuk anak-anak abnormal, diduga bahwa kecerdasan ditetapkan sebelumnya secara genetik dan relatif diperbaiki pada awal usia belasan tahun. Oleh karena itu, sedikit perlu disesuaikan antara tes dan kelompok usianya. IQ dapat ditentukan pada usia berapapun. Berdasarkan asumsi ini pada tahun 1930, Jones dan Conrad mengadakan Army Alpha test pada penduduk sebuah desa di New Hampshire yang berusia antara 10 dan 60 tahun. Mereka menemukan bahwa yang berusia 18 sampai 21 tahun mendapat skor tertinggi dan setelah usia 21 IQ terus berkurang. Namun demikian, sebuah studi berikutnya tentang tingkat pendidikan partisipan menampakkan suatu hubungan dengan penyebaran skor IQ. Walau demikian, baru ketika muncul studi longitudinal kecerdasan setelah tahun 1950, dugaan tentang menurunnya kecerdasan yang signifikan yang dihubungkan dengan penuaan mulai diragukan.


Skala Kecerdasan Orang Wechsler (WAIS) yang dirancang oleh David Wechsler pada awal tahun 1930-an menjadi tes kecerdasan yang paling umum digunakan. WAIS dibakukan untuk tiap kelompok usia orang dewasa yang terdiri atas 11 subtes, yang masing-masing memiliki komponen fungsi kecerdasan yang berbeda. Skor Kecerdasan Verbal berdasarkan informasi umum, hafalan jangka pendek, pemikiran umum, dan Skor Kecerdasan Tindakan yang berdasarkan pemikiran dan kemampuan abstrak untuk memanipulasi obyek dipadukan untuk menghasilkan skor keseluruhan. Wechsler sendirian percaya bahwa fungsi kecerdasan berkurang dengan bertambahnya usia. Namun demikian, banyak studi longitudinal cenderung mendukung pemikiran bahwa komponen kecerdasan yang berbeda (seperti dibedakan oleh ke-11 subtes WAIS) menunjukkan kecenderungan yang berbeda yang berhubungan dengan usia. Pada suatu tinjauan studi longitudinal, Jarvik menyimpulkan bahwa “satu urutan yang menimbulkan pola kohesif fungsi kecerdasan pada tahun-tahun kehidupan selanjutnya” adalah “kestabilan skor verbal yang luar biasa, kapanpun kesehatan terpelihara, disertai oleh penurunan bertahap yang kuat pada hasil tugas-tugas yang cepat.”


Yang kurang lebih sama dengan IQ Performans dan IQ Verbal Wechsler adalah teori Catell tentang kecerdasan “yang tidak tetap” dan “nyata”. Model menurut Catell keduanya fleksibel dan berhubungan dengan perkembangan serta memberikan perspektif yang menarik pada kompleksnya kecerdasan manusia. Kecerdasan yang tidak tetap adalah berdasarkan genetik, terbatas secara neurofisiologis, dan tidak terikat oleh pendidikan atau pengalaman hidup. Kecerdasan yang tidak tetap, memuncak selama akhir masa remaja dan kemudian berangsur-angsur menurun selama masa dewasa. Penurunan ini tercermin pada subtes perilaku WAIS. Namun, kecerdasan yang nyata meningkat dengan usia. Tipe kecerdasan ini tergantung pada pengalaman, pengetahuan yang terkumpul, dan saling mempengaruhinya antara organisme dan lingkungan sosialnya. Menurunnya kecerdasan yang tidak tetap dan meningkatnya kecerdasan nyata bertindak sebagai penyama dengan pengaruh akhir ukuran IQ keseluruhan yang agak tetap selama masa dewasa.


Persamaan dapat ditarik antara model kecerdasan Catell dan kreativitas pada masa dewasa. Penyelidikan tentang hubungan antara hasil dan usia kreatif tampak mendukung gagasan bahwa “semakin sebuah tindakan kreatif tergantung pada perkembangan yang terkumpul… kemungkinannya semakin banyak terjadi pada tahun-tahun terakhir dalam hidup.” Dalam meninjau riset dalam bidang ini, Troll melihat bahwa “tindakan kreatif seorang ahli matematika atau seniman bisa melibatkan proporsi kecerdasan yang tidak tetap yang lebih besar, dan tindakan kreatif novelis dan filsuf melibatkan proporsi kecerdasan nyata yang lebih besar.”


Kecerdasan telah menjadi satu fokus penelitian belajar dan penuaan. Fokus lain adalah fungsi kognitif yang meliputi belajar, ingatan dan penyelesaian masalah. Bersama dengan tes kecerdasan, studi proses kognitif pada orang dewasa telah banyak membangkitkan orientasi behavioris dan teoritikus kognitif. Yakni, kebanyakan peneliti telah menempatkan orang dewasa dalam sebuah pengalaman di lingkungan laboratorium, memberikan situasi stimulus, dan mengamati hasilnya. Perbedaan perilaku antara subyek dewasa tua dan muda telah ditafsirkan sebagai perubahan yang berkaitan dengan usia. Pengertian kognisi yang ditunjukkan oleh Arenberg mencerminkan orientasi pada tindakan dalam riset: “Proses mendaftar, menyimpan, dan memperoleh kembali informasi dan memanipulasi informasi itu untuk memecahkan masalah.”


Pembelajaran verbal sebagai satu aspek fungsi kognitif difokuskan pada perhatian dan set, praktek, kecepatan tindakan, dan strategi belajar. “Bukti yang telah terkumpul sedikit demi sedikit tentang pembelajaran hewan dan manusia mengungkapkan” Kata Birren, “bahwa perubahan dengan usia pada kemampuan dasar untuk belajar adalah kecil dalam kebanyakan situasi.” Perbedaan yang tampak adalah “lebih mudah dihubungkan dengan proses persepsi, set, perhatian, motivasi, dan keadaan psikologi organisme….daripada dihubungkan dengan perubahan pada kapasitas/kemampuan dasar untuk belajar.” Arenberg juga memperhatikan bahwa studi-studi pada belajar verbal memasukkan variabel-variabel lain (kecepatan langkah menjadi yang paling kuat) yang mempengaruhi perbedaan usia dalam tindakan. Secara keseluruhan, orang dewasa yang lebih tua kelihatan banyak membuat kesalahan karena kelalaian daripada perbuatan. Yakni, mereka mungkin tidak merespon sama sekali daripada menjawab dengan salah. Membolehkan penentuan kecepatan langkah sendiri untuk tugas belajar dapat mengurangi kesalahan karena kelalaian. Eisdorfer membuat penemuan menarik berkenaan dengan kecepatan dan belajar. Subyek yang lebih tua dalam kondisi tes bisa mengalami keadaan dorongan yang tinggi (seperti diukur oleh asam lemak bebas dalam darah) yang menghalangi respon. Eisdorfer menunjukkan bahwa respon ini dapat dikontrol dengan memberikan obat yang menekan dorongan. Studinya yang menambah kepercayaan pada posisi yang mengubah kemampuan belajar verbal lebih berhubungan dengan variabel konteks daripada pada perubahan kapasitas untuk belajar.


Ingatan adalah aspek fungsi kognitif lainnya yang telah dipelajari berkenaan dengan usia. Memisahkan ingatan dari belajar tidak mudah dilakukan, karena “perubahan ingatan bersama usia cenderung mempengaruhi belajar, dan perubahan dalam belajar bersama usia cenderung mempengaruhi ingatan saat ini.” Meskipun demikian, para peneliti telah membedakan antara ingatan jangka pendek dan jangka panjang dan telah mendalilkan sebuah model pemrosesan informasi sebagai kerangka kerja penyelidikan. Dalam model ini, ingatan terdiri atas input (perolehan atau penangkapan), penyimpanan, dan output (ingatan atau perolehan kembali) Kebanyakan studi menemukan bahwa terdapat sedikit perubahan bersama usia pada ingatan jangka panjang atau pada penyimpanan informasi. Perubahan yang berhubungan dengan usia terjadi pada perolehan ingatan jangka pendek, mungkin karena melemahnya indra. Apa yang akan diingat pertama-tama harus diproses lewat indra dan semua panca indra terutama penglihatan dan pendengaran yang berkurang dengan usia. Informasi yang telah didaftar dan disimpan dapat diperoleh kembali dengan mudah. Studi menunjukkan bahwa orang dewasa yang lebih tua perlu lebih lama untuk mencari informasi yang tersimpan. Faktor lain yang mungkin memberi perolehan kembali adalah pengabaian, interferensi, kegiatan neurokimia, dan fungsi psikologi.


Penyelesaian masalah, dimensi pemikiran proses kognitif dan penuaan kurang diselidiki daripada ingatan atau belajar. Arenberg berkata bahwa ini mungkin berhubungan dengan “kesulitan dalam mengukur perilaku.” Setelah meninjau pekerjaan tentang penyelesaian masalah dan penuaan, Arenberg menyimpulkan:

Secara umum, penemuan dari studi penyelesaian masalah menunjukkan perbedaan umur hanya seperti yang ditemukan dalam banyak studi belajar verbal dan ingatan. Studi yang memberi kesempatan untuk subyek memperoleh informasi menunjukkan bahwa orang jompo lebih banyak menanyakan keterangan terutama keterangan noninformatif. Orang tua juga kurang efektif dalam menggunakan informasi yang mereka minta atau yang telah ditunjukkan oleh peneliti. Baik analisis (mendapat informasi) dan sintesis (memproses informasi untuk mendapat pemecahan) tampak melemah dengan bertambahnya usia.


Knox telah mengidentifikasi sedikitnya lima faktor yang akan tampak memberi kontribusi pada kemampuan penyelesaian masalah dan yang menggambarkan hubungan belajar dan ingatan serta strategi penyelesaian masalah. Lima faktor itu adalah: penurunan kapasitas ingatan jangka pendek, kesulitan yang bertambah dalam mengorganisir materi kompleks, campur tangan yang besar dari belajar yang sebelumnya, kesulitan yang lebih besar dalam mengabaikan aspek yang tidak sesuai dalam situasi belajar, dan kemampuan yang berkurang untuk membedakan antar stimulus.


Dalam usaha untuk merespon pertanyaan apakah belajar semakin mundur atau tidak dengan bertambahnya usia, Botwinick menyimpulkan bahwa hal ini tidak mudah untuk dijawab karena saling berhubungannya variabel kognitif dan nonkognitif perilaku. Faktor nonkognitif bisa menghalangi atau mempermudah perilaku orang dalam tugas belajar tetapi tidak berhubungan dengan kemampuan belajar bawaan. Diantara faktor-faktor nonkognitif itu adalah: (1) penentuan langkah (kecepatan), waktu ketika seseorang harus menguji masalah atau merespon situasi, (2) kepentingan, bagaimana materi yang sesuai dan lazim membuat perbedaan dalam belajar, dan (3) motivasi, alasan orang termotivasi mempengaruhi belajar. Variabel kognitif dihubungkan dengan kecakapan atau “kemampuan belajar yang sebenarnya.” Botwinick membedakan tiga hal: (1) organisasi, kemampuan untuk mengatur meteri menjadi unit yang teratur, (2) Perantaraan, kemampuan menghubungkan dua atau lebih unsur kegiatan belajar dan (3) ketegaran dan kehati-hatian, suatu konsep multidimensi yang menunjuk pada besarnya kefleksibelan seseorang yang harus membuat respon kognitif yang sesuai.


Ketika tidak mengidentifikasi mereka sebagai variabel nonkognitif, para peneliti melihat hadirnya faktor lain yang mempengaruhi belajar serta menyebabkan perbedaan individu yang besar pada usia tertentu. Birren melihat motivasi, kecepatan, keterpautan, set atau harapan tidak berhubungan dengan kemampuan belajar intrinsik. Kondisi fisik, kelas sosial termasuk tingkat pendidikan, dan kepribadian juga bisa menyebabkan kecenderungan usia pada kemampuan belajar yang diamati. Dan menurut Eisdorfer, “yang penting sekali” dari kesehatan jasmani harus dipertimbangkan ketika membuat generalisasi tentang perilaku kognitif maupun intelektual.


Seperti yang disarankan oleh banyak peneliti, penyelidikan belajar brsama dengan penuaan mengalami ksulitan dalam memisahkan kemampuan belajar dari sekelompok variabel campuran. Dan ketika kecerdasan dan proses kognitif telah diteliti secara terpisah, ada sedikit kesepakatan perihal cara suatu komponen dapat dibedakan dari yang lainnya. Setelah meninjau penelitian tentang belajar dan penuaan, Baltes dan Labouvie menyimpulkan bahwa kesesuaiannya terletak pada menerapkan apa yang diketahui suatu konteks sosial yang besar. Kesimpulan mereka penting untuk para pendidik: “Aspek utama reformasi pendidikan harus memasukkan pendistribusian kembali program pendidikan sepanjang hidup.”


Singkatnya, jelas bahwa banyak pendekatan dimasukkan dalam bagian tentang proses belajar ini. Terdapat perbedaan pokok antara behavioris dan Gestaltis, dan antara teoritikus kognitif dan teoritikus yang meneliti belajar orang dewasa bersama dengan penuaan. Apa yang memperbolehkan pendekatan-pendekatan ini untuk dipadukan adalah pandangan umum tentang belajar sebagai fenomena yang dibuktikan dengan perubahan perilaku. Perubahan seperti itu dapat dikendalikan menjadi banyak dengan memenipulasi variabel lingkungan. Dari para pembuat hubungan yang menghasilkan respon pada stimulus tertentu, pada peneliti masalah kedewasaan dan penuaan yang dapat memperoleh hasil yang dapat diperkirakan oleh berbagai kecepatan sebuah tugas, penekanan telah berada pada lingkungan laboratorium percobaan di mana proses belajar sendiri dipelajari. Riset tentang proses belajar telah membuat kontribusi variabel yang penting terhadap pemahaman sifat belajar, proses mental, dan perubahan kecerdasan dan fungsi kognitif yang berhubungan dengan usia. Prinsip belajar yang sesuai dengan pendidikan masyarakat bisa diambil dari teori behavioris, Gestaltis, dan teoritikus kognitif. Daftar berikut ini tidaklah mendalam, namun lebih menunjukkan contoh beberapa penemuan dari riset proses belajar yang dapat digunakan sebagai garis pedoman praktek pendidikan:

  1. Kesiapan orang dewasa untuk belajar tergantung pada kuantitas belajar sebelumnya. Semakin banyak pengetahuan yang dikumpulkan oleh seseorang semakin baik ia menyerap informasi baru dan melakukan cara pemikiran yang rumit. Berbagai sifat pengalaman pendidikan masa lalu suatu kelompok pelajar dewasa menegaskan keragaman awal mula kegiatan pendidikan apapun.
  2. Motivasi intrinsik menghasilkan belajar yang lebih meresap dan permanen. Ketika kebutuhan langsung dipenuhi oleh belajar itu sendiri, apa yang dipelajari menjadi suatu bagian utuh pelajar. Motivasi ekstrinsik bisa menghasilkan belajar tetapi belajar tidak seefektif belajar yang termotivasi secara intrinsik. Jadi, membuat kegiatan pendidikan seputar kebutuhan pelajar dewasa memastikan belajar yang permanen.
  3. Penguatan belajar positif (hadiah) lebih efektif dari penguatan negatif (hukuman). Ketika banyak orang dewasa merasa tidak aman dan takut akibat pengalaman negatif pada pendidikan sekolah yang pertama, perasaan sukses dalam belajar adalah penting untuk belajar dan partisipasi yang berlanjut.
  4. Untuk memaksimalkan belajar, informasi harus ditunjukkan dengan suatu cara yang terorganisir. Materi dapat disusun untuk memulai dari yang sederhana sampai yang rumit atau dapat diatur seputar konsep yang berhubungan. Permulaan untuk mengatur sekumpulan materi untuk orang dewasa berhubungan dengan pengalaman dan pengetahuan masa lalu orang dewasa.
  5. Belajar, terutama mengenai perkembangan keahlian ditingkatkan oleh pengulangan, terutama dengan jangka waktu yang sistimatis selama suatu periode waktu.
  6. Materi dan tugas penting lebih mudah dipelajari dan lebih lama diingat daripada materi yang tidak penting atau tidak berguna. Hal ini sangat benar bagi pelajar dewasa yang sudah tua. Informasi atau tugas apapun memiliki kemungkinan menjadi penting atau tidak. Tantangan bagi fasilitator belajar orang dewasa adalah mencari cara dimana materi dapat berhubungan secara signifikan dengan pengalaman dan kebutuhan orang dewasa.
  7. Dibandingkan partisipasi pasif, partisipasi aktif dalam kegiatan belajar meningkatkan belajar. Orang dewasa yang terlibat sendiri, yang “menemukan” sendiri hubungan, konsep, pengertian diberi balasan oleh belajar itu sendiri. Para pendidik dewasa yang memperbolehkan partisipasi aktif membantu mengadakan belajar yang penting dan permanen.
  8. Faktor lingkungan mempengaruhi belajar. Stimulus yang nyata seperti, kegaduhan, ruang duduk yang ramai, suhu, pencahayaan, dll dapat mengganggu proses belajar. Faktor lain seperti ketegangan, ejekan, tekanan, kelelahan, dan kesehatan yang buruk juga bisa mengganggu belajar. Hasil belajar orang tua sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan.


KESIMPULAN


Kumpulan prinsip yang telah disebutkan diatas yang diambil dari riset tntang proses belajar sangat bermanfaat sebagai suatu pedoman untuk penetapa instruksi. Namun ini tidak mermberikan wawasan yang banyak pada apa yang membedakan pelajar dewasa dari anak-anak. Sebagian besar dari pedoman itu dapat diterapkan pada anak-anak serta orang dewasa. Hanya dengan menggunakan penemuan yang berhubungan dengan proses belajar bersama dengan pemahaman sifat-sifat kedewasaan yang unik, seseorang dapat mulai memahami sifat belajar orang dewasa.


Konteks perkembangan psikososial memberikan kerangka untuk memahami kesiapan dan orientasi orang dewasa untuk belajar. Pendekatan seperti itu mengharuskan melihat orang dewasa sebagai suatu perubahan, perkembangan yang menjadi respon dan memiliki pengaruh pada variabel-variabel psikologis, fisik, dan sosial. Ketika mengenali keunikan individu, perspektif ini melibatkan usaha untuk menggambarkan keteraturan pengalaman sepanjang hidup. Kebiasaan dengan pola perkembangan psikososial orang dewasa memberikan wawasan pada perbedaan antara pelajar dewasa dan pra-dewasa, membantu menjelaskan belajar yang sistimatis dan insidental yang terjadi pada masa dewasa, dan memberikan pedoman untuk menyusun kegiatan pendidikan yang penting.

Filosofi dan psikologi manusia juga memberi kontrbusi pada pemahaman pelajar dewasa. Orang dewasa yang bebas dan bekerja sendiri dapat memandu dan mendukung prtumbuhan dan perkembangan mereka sendiri. Apakah seseorang sedang mengusahakan aktualisasi diri, kedewasaan yang lebih besar, atau memiliki fungsi yang penuh, penekanannya adalah pada peningkatan diri yang terus-menerus lewat belajar. Pendekatan andiagogis Knowles pada belajar orang dewasa didasarkan pada asumsi kemanusiaan.


Pembelajaran orang dewasa adalah suatu fenomena kompleks. Ketika membagi keserasian dengan pembelajaran anak-anak, terdapat perbedaan pokok waktu yang sama yang mengharuskan mendekatkan siswa dewasa berbeda dari anak-anak sekolah. Konsep bebas orang dewasa, kemampuan belajar sendiri, kesiapan, dan orientasi belajar adalah faktor-faktor interaktif yang membantu menerangkan tidak hanya perbedaan besar diantara pelajar dewasa, tetapi juga banyak perbedaan keserasian.


Wednesday, November 11, 2009

Studi Kasus Tentang Penilaian Perilaku dan Perawatan Terhadap Fobia Serangga



STUDI KASUS TENTANG PENILAIAN PERILAKU DAN
PERAWATAN TERHADAP FOBIA SERANGGA

"Kami menilai prestasi akademik anak usia 14 tahun dengan fobia serangga dalam hubungannya dengan rangsang yang ditakuti. Ukuran terikatnya adalah nilai perhitungan pasti melalui tiga kondisi yang membeda-bedakan pernyataan ahli terapi mengenai adanya jangkerik dan keberadaan yang nyata jangkerik hidup. Perawatan berikutnya meliputi penyingkapan yang bertingkat-tingkat dan hadiah yang tergantung untuk penyelesaian persoalan pasti. Hasil penilaian menunjukkan bahwa prestasi anak tetap rendah dengan adanya jangkerik hidup tetapi tidak ketika ia diberi informasi palsu bahwa ada jangkerik (hal penyerahan primer). Hasil perawatan menunjukkan tidak ada efek penyingkapan itu sendiri dan sebuah efek dramatis saat penyingkapan dipadukan dengan hadiah yang tergantung."
Deskriptor: penilaian perilaku, kecemasan, fobia serangga, gangguan perilaku, analisis perilaku klinis.
Di antara ribuan karangan ilmiah yang terbit mengenai gangguan kecemasan, hampir semuanya melaporkan pemakaian bentuk penilaian tradisional seperti skala, daftar pilihan pertanyaan, dan inventaris rasa takut (friman, Hayes, & Wilson, 1998; King, 1993). Satu subset gangguan kecemasan yang respon campurannya kelihatan sesuai untuk penilaian perilaku adalah fobia serangga (entomophobia). Penghindaran atau larinya seseorang dari serangga memperkuat tingkatan susunan yang berbeda dari perilaku maladaptif. Perawatan konvensional untuk fobia serangga melibatkan penyingkapan ulang terhadap rangsang yang tersusun secara hierarkhi dengan sifat resmi yang menyerupai anggota pokok klas fobia (misal: jangkerik) dan terhadap rangsang yang berbeda, dengan fungsi yang sama. (misal: ejekan tentang adanya jangkerik) (Friman dkk, 1998:King’ 1993). Ketika penilaian perilaku digunakan untuk mengevaluasi perawatan, pada dasarnya mereka memfokuskan pada pendekatan terhadap rangsang fobia. Sekalipun begitu, karena kriteria diagnosis untuk fobia meliputi prestasi yang terganggu, memasukkan ukuran prestasi ke dalam penilaian akan memberikan lebih banyak analisis perilaku yang lengkap dan relevan secara klinis (Friman dkk, 1998). Kami tidak menemukan studi tentang penilaian dan perawatan fobia serangga yang memakai prestasi sebagai ukuran ketergantungan. Tujuan studi saat ini adalah mengevaluasi penilaian dan perawatan fobia serangga menggunakan respon akademis sebagai ukuran terikat/ketergantungan.

METODE

Partisipan
Mike, seorang anak berusia 14 tahun yang didaftarkan di SMP di Boy’s Town, mendapat perhatian dari kepala sekolahnya karena adanya serangga di dalam kelas dan ejekan soal serangga benar-benar mengganggu prestasi akademiknya. Mike melaporkan bahwa ia mengalami kesulitan berkonsentrasi dan bekerja saat ia berpikiran binatang-binatang kecil bisa muncul dan bahwa ia sering digoda teman-temannya (seperti: “Mike, ada binatang di bawah kursimu!”). Responnya untuk melihat serangga mengabaikan pekerjaannya, memakai kerudung pada jeketnya, atau berteriak-teriak. Mike mengenal jangkerik, laba-laba, dan kumbang kecil sebagai serangga-serangga yang paling ia takuti.
Pengukuran
Meskipun rangsang fobia bisa mempengaruhi perilaku dengan berbagai cara, kita memfokuskan pada prestasi akademik karena ini merupakan masalah utama yang dilaporkan oleh kepala sekolahnya. Pengukuran ketergantungannya adalah nilai hasil kerja Mike dengan adanya jangkerik yang dibeli dari toko hewan peliharaan lokal. Dua atau tiga pemeriksaan yang tepat selama 4 menit dilakukan tiap sesi, selama itu Mike duduk di bangku dalam sebuah ruang kerja (7 m x 7 m) dengan satu dari 30 lembar soal kelas tiga yang bergantian di atas meja. Mike diperintahkan untuk menyelesaikan soal sebanyak mungkin dan nilai responnya adalah jumlah rata-rata yang benar tiap pemeriksaan 4 menit. Dua puluh lembar soal (26%) dinilai sendiri oleh ahli terapi dan orang lain. Kesepakatan para penilai yang dihitung dengan membagi kalkulasi yang lebih rendah dengan yang paling tinggi dan mengalikan dengan 100%, direntang dari 80% sampai 100% (M = 98%).

Penilaian
Kami menilai efek hadirnya/adanya serangga, tidak adanya serangga, dan pernyataan lisan mengenai serangga terhadap nilai respon akademik Mike. Di antara pelaksanaan pemeriksaan matematis, Mike dan ahli terapi terlibat dalam percakapan sepintas lalu dalam 15 sampai 20 menit (seperti: olah raga, nilai, teman).
Serangga. Mengikuti instruksi, ahli terapi melepaskan tiga jangkerik hidup di tengah lantai dan pergi.
Katakan serangga. Dengan kondisi Mike yang berada di luar, ahli terapi memindahkan jangkerik dan memeriksa ruangan untuk memastikan tidak ada serangga. Lalu ia membawa Mike masuk kembali dan berkata, “Ada serangga di dalam ruangan ini.”
Tak ada serangga. Kondisi ini sama dengan kondisi katakan serangga kecuali bahwa ahli terapi berkata pada Mike, “Tidak ada serangga dalam ruangan ini.”
Perawatan/Perlakuan
Dua kondisi perlakuan diterapkan yaitu (a) penyingkapan bertingkat dan (b) penyingkapan bertingkat plus penguatan.
Penyingkapan bertingkat. Mike terlibat dalam 15 sampai 20 menit latihan penyingkapan bertingkat segera sebelum pemeriksaan. Latihan ini termasuk sebuah hirarki tugas pendekatan perilaku, dari membawa satu guci berisi jangkerik sampai membawa satu jangkerik dengan masing-masing tangan selama 1 menit (lihat Tabel 1). Mike memilih tingkat penyingkapan pertama untuk tiap sesi dan terus sampai ia menolak melakukan langkah berikutnya. Mike menyelesaikan enam langkah dengan bantuan selama sesi pertama, dan menyelesaikan sendiri sembilan langkah sampai sesi terakhir. Sesudah itu, waktunya ditambah (misal: memegang seekor jangkerik selama 40 detik sampai 60 detik).
Tabel 1
Langkah-langkah dalam Hirarki Penyingkapan Bertingkat
  1. Memegang sebuah guci berisi jangkerik.
  2. Menyentuh jengkerik dengan kaki.
  3. Memejamkan mata selama 60 detik sambil berdiri dalam ruangan berisi jangkerik.
  4. mengambil seekor jangkerik dengan selembar kertas.
  5. Mengambil seekor jangkerik dengan sarung tangan.
  6. Memegang seekor jangkerik selama 20 detik dengan tangan kosong.
  7. Membiarkan jangkerik merayap pada kaki bercelana.
  8. Membiarkan jangkerik merayap pada tangan telanjang.
  9. Memegang jangkerik dengan masing-masing tangan selama 20 detik.
Penyingkapan bertingkat plus penguatan. Fase ini identik dengan kondisi penyingkapan kecuali bahwa Mike memperoleh poin untuk tiap langkah yang benar. Poin-poin ini ditukar pada akhir tiap-tiap minggu untuk item-item dari menu penguatan, meliputi sertifikat bakat Blockbuster, video, permen dan Legos.
Disain Percobaan
Sebuah disain multielemen dipakai untuk mengevaluasi akibat dari tiga kondisi penilaian. Disain A-B-BC-A-BC dipakai untuk membandingkan akibat kondisi percobaan. Prestasi Mike selama kondisi serangga yang pertama disajikan sebagai fase dasar awal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data penilaian pada panel pertama Gambar 1 menunjukkan tingkat kebenaran yang tinggi pada kondisi tak ada serangga relatif terhadap kondisi lainnya, pada awalnya rendah tetapi meningkat pada kondisi katakan serangga, dan tingkat yang rendah pada kondisi serangga. Data perlakuan/perawatan menunjukkan tidak ada kemajuan dalam kondisi penyingkapan dan tren yang meningkat pada kedua fase penyingkapan plus penguatan. Fase sebaliknya menghasilkan penurunan skor yang sedang, dengan dua sesi terakhir menghasilkan lebih sedikit soal yang benar dari pada sesi lainnya dari tiap fase perawatan gabungan.
Keterangan:
Gambar 1. Jumlah rata-rata soal yang benar tiap pemeriksaan 4 menit melalui penilaian (BL), penyingkapan bertingkat (G-E), dan kondisi penyingkapan plus penguatan (G-E+RF)
Hasil ini menunjukkan nilai penilaian perilaku praperawatan untuk menghilangkan fobia serangga. Meskipun guru melaporkan ejekan sebagai masalah utamanya, hasil penilaian menunjukkan bahwa kurangnya prestasi didukung oleh adanya jangkerik. Masalah prestasi dalam kondisi katakan serangga terpecahkan selama penilaian ketika rangsang lisan ini dihadirkan berulang-kali dalam keadaan tidak ada serangga. Hasil juga menunjukkan nilai perilaku adaptif yang menjadi sasaran yang secara langsung dipengaruhi oleh rangsang fobia dari pada pendekatan semata atau tindakan tidak langsung terhadap rasa takut atau cemas (Friman dkk, 1998). Terakhir, hasil memberi kesan bahwa hadiah-hadiah yang terprogram, ketergantungan pada respon adaptif, kadang-kadang diperlukan untuk mengatasi penguatan negatif yang diperkirakan dari penjauhan diri atau penghindaran terhadap rangsang fobia.

Kami menganggap studi ini sebagai pendahuluan karena efek buruk perawatan tidak meyakinkan. Tingkat perhitungan pasti selama fase dasar kedua kemungkinan karena akibat praktek dan keterlibatan serangga yang berulang-ulang. Persoalan yang kedua berkenaan dengan disain yang menyerupai akibat perawatan gabungan tetapi tidak membolehkan perbandingan langsung (B-BC) antara dua komponen perawatan. Batasan yang ketiga adalah bahwa kami secara resmi tidak menilai generalisasi. Informasi anekdot menyarankan bahwa generalisasi terhadap serangga, setting, dan perilaku adaptif lainnya mungkin terjadi. Guru Mike melaporkan bahwa ejekan teman-temannya telah banyak berkurang dan bahwa Mike tidak responsif saat ada ejekan. Apalagi penulis yang pertama mengamati bahwa Mike membunuh seekor laba-laba memakai kertas tisu segera setelah pelajaran berakhir. Meskipun terbatas, kami berharap studi ini merangsang untuk riset-riset lainnya pada penilaian perilaku dan perawatan terhadap fobia.





Pengaruh Kuat Lima Besar Sifat Kepribadian Terhadap Laporan Masalah Perilaku Anak Oleh Informan Yang Berbeda



Pengaruh Kuat Lima Besar Sifat Kepribadian Terhadap Laporan

Masalah Perilaku Anak Oleh Informan Yang Berbeda


Jurnal Psikologi Anak Abnormal, April 2005 oleh Gert Kroes,

Jan W. Veerman, Eric E.J. De Bruyn


Penilaian masalah perilaku anak berbeda menurut informan dan situasinya. Selalu hanya kesepakatan sederhana ditemukan di antara penilaian informan yang berbeda tentang fungsi anak (Achenbach, McConaughy, & Howel, 1987; Stanger & Lewis, 1993). Fenomena ini membentuk hambatan utama bagi peneliti dan ahli klinik yang sedang mencoba menilai perilaku dan masalah emosional anak secara akurat. Berbagai alasan untuk ketidaksepakatan telah diusulkan yaitu mekanisme umum seperti perangkat respon, sifat disukai, atau kemauan melaporkan perilaku negatif dari pihak informan (Youngstrom, Loeber, & Stouthamer-Loeber, 2000); faktor kepribadian informan seperti depresi dan kecemasan (Briggs-Gowan, Carter, & Schwab-Stone, 1996); faktor interaksional seperti hubungan anak dengan orang tua (Treutler & Epkins, 2003). Perilaku anak juga dapat berbeda sesuai situasi rumah, sekolah, tetangga, dan klinik (Kolko & Kazdin). Karena para informan yang berbeda itu mengamati anak-anak dalam situasi yang berbeda, maka situasi juga bisa memainkan peran yang penting dalam penciptaan ketidaksepakatan antar informan. Dalam studi ini, pengaruh kuat faktor kepribadian informan dalam laporan masalah perilaku anak diperiksa sambil mengontrol perbedaan situasional.


Pengaruh faktor-faktor kepribadian informan, khususnya depresi maternal, dalam laporan masalah perilaku anak telah sering diuji (cf. chilcoat & Breslau, 1997; Kroes, Veerman, & Be Bruyn, 2003; Youngstrom, Izard, & Ackerman, 1999). Pada banyak studi, tingkat masalah perilaku anak yang tinggi yang dilaporkan oleh para ibu diketahui dihubungkan dengan tingkat gejala depresif yang tinggi dalam diri para ibu sendiri. Pertanyaannya adalah bagaimana menafsirkan penemuan ini: Apakah laporan para ibu yang memiliki tingkat depresi tinggi mencerminkan tingkat masalah perilaku yang meningkat pada anak mereka, atau apakah depresi maternal (berhub. dg ibu) mengubah persepsi mereka tentang perilaku anak? Richters (1992) menjelaskan dua perspektif berbeda ini pada persepsi perilaku anak sebagai model keakuratan dan model distorsi. Pada banyak studi, psikopatologi maternal telah dijelaskan menyebabkan distorsi (misal, Conrad & Hammen, 1989) atau prasangka dalam laporan ibu mengenai masalah perilaku anak telah menjadi minimal, dan sedikit atau tidak memiliki arti klinis (Sawyer, Streiner, & Baghurst, 1998). Studi-studi terbaru melaporkan hasil-hasil campuran yang menyarankan bahwa kedua model dapat menggunakan: psikopatologi maternal, dapat dihubungkan dengan masalah perilaku diantara anak yang meningkat, dan ibu dengan gejala psikopatologi dapat melaporkan insiden dan/atau peliknya masalah tersebut (misal, Chilcoat & Breslau, 1977; Najman dkk, 2000).


Kebanyakan studi yang disebut diatas telah dihambat oleh masalah metodologis. Seperti ditunjukkan oleh Richters (1992), hipotesis keakuratan dan hipotesis distorsi memprediksi laporan perilaku anak yang lebih bermasalah dengan orang tua dengan gejala kejiwaan. Untuk menetapkan apakah laporan ini mencerminkan masalah anak yang sesungguhnya atau persepsi orang tua yang terdistorsi, diperlukan penilaian criteria yang “sah, bebas dari pengaruh depresi maternal” sendiri dan berdasarkan pada sampel “situasi dan perilaku sebanding dengan yang dicontohkan oleh penilaian ibu” (Richter, hal 487). Dalam semua studi yang ditinjau oleh Richters, situasi dan perilaku berbeda menurut informan. Oleh karena itu, perbedaan antara penilaian ibu dan kriteria bisa dianggap berasal dari perbedaan yang populer pada perilaku anak karena situasi (Achenbach dkk, 1987). Sebagai akibatnya, studi gagal memberikan bukti yang meyakinkan untuk pengaruh yang mendistorsi psikopatologi informan. Persyaratan rancangan terpenting untuk menguji hipotesis distorsi adalah standarisasi kerangka sampling perilaku anak untuk ibu dan informan kriteria. Ketika kondisi ini telah dijumpai, bukti-bukti berikut ini kemudian akan dibutuhkan untuk memberikan dukungan bagi hipotesis distorsi: “(a) ketidaksepakatan yang berhubungan dengan depresi antara ibu dan penilai kriteria dan (b) superioritas/keunggulan (misal, keakuratan) penilaian kriteria terhadap penilaian ibu” (Richters, hal 487). Akhirnya, Richters juga telah mengusulkan bahwa studi lapangan harus ditambah dengan studi laboratorium, contohnya sampel rekaman perilaku anak, sehingga memudahkan kontrol yang lebih banyak terhadap perilaku anak untuk diteliti.


Hanya sedikit studi yang dengan sengaja dirancang sesuai dengan ketentuan metodologi Richters hingga saat ini. Dalam sebuah studi laboratorium oleh Youngstrom dkk (1999), penilaian ibu atas sampel perilaku anaknya yang terekam dibandingkan dengan penilaian pengamat independen. Analisis multi regresi menunjukkan hubungan antara penilaian maternal dan penilaian peneliti yang direntang dari .32 sampai .41 untuk bermacam-macam tipe perilaku anak. Setelah menghilangkan perbedaan penilaian maternal dan peneliti, disforia maternal kemudian ditemukan untuk menjelaskan 2,3 – 20% perbedaan sisanya. Menariknya, korelasi yang ditemukan di antara informan yang berbeda dalam studi laboratorium ini sangat paralel dengan korelasi khusus yang ditemukan dalam riset lapangan (Achenbach dkk, 1987), dan banyaknya perbedaan yang dijelaskan oleh distres maternal di bawah kondisi laboratorium yang dikontrol dengan baik adalah sama dengan banyaknya perbedaan yang dijelaskan oleh depresi dalam studi lapangan (Fergusson, Lynskey, & Horwood, 1993).


Dalam studi yang berhubungan, Johnston dan Short (1993) menguji hubungan simptomatologi depresif dengan persepsi perilaku anak bagi ibu dan mahasiswi. Lebih jelasnya, wanita dewasa diminta untuk melengkapi ukuran simptomatologi depresif dan menilai perilaku aktor anak yang direkam. Untuk ibunya, gejala depresif berhubungan dengan persepsi yang lebih negatif dari perilaku anak yang diinternir dan dari perilaku prososial. Mahasiswi dengan gejala yang lebih depresif memiliki persepsi yang kurang positif terhadap perilaku prososial dan memberi penilaian menyeluruh yang lebih negatif terhadap perilaku yang dieksternalisir.


Hasil studi oleh Johnson dan Short (1993) menyarankan bahwa simptomatologi depresif secara negatif dapat mempengaruhi persepsi orang dewasa mengenai perilaku anak, dan bahwa distorsi persepsif tidak terbatas pada ibu dengan depresi yang menilai anak mereka yang bermasalah tetapi juga berlaku pada orang dewasa lainnya dengan gejala depresi yang menilai anak-anak tidak dikenal. Ini menekankan perlunya, seperti baru saja di tekankan oleh Richters (1992), untuk menguji pengaruh depresi pada orang dewasa yang bekerja secara profesional yang memiliki anak, yang dapat melibatkan guru, dan perawat anak. Ini juga memunculkan pertanyaan apakah keakraban dengan anak menimbulkan distorsi seperti dijelaskan oleh beberapa studi (Kendziora dan O’Leary, 1998; Lorber, O’Leary, & Kendziora, 2003; Snar, Strassberg, & Slep, 2003). Sebagai contoh, Kendziora dan O’Leary (1998) membandingkan penilaian ibu terhadap rekaman perilaku anak mereka sendiri dan anak yang tidak dikenal dengan penilaian pengamat independen. Mereka menemukan bahwa para ibu melaporkan lebih sedikit perilaku negatif anak mereka dari pada pengamat, dan juga bahwa para ibu mengevaluasi perilaku anak mereka lebih kurang negatif dari pada perilaku anak yang tidak dikenal.






Tuesday, October 27, 2009

Pengembangan Karir



Pengembangan Karir


- Perencanaan karir adalah proses dimana individu merumuskan tujuan karir dan membuat rencana untuk mencapai tujuan itu.

- Tanggung jawab organisasi adalah mengembangkan dan menyampaikan pilihan karir dalam organisasi kepada karyawan.

- Tanggung jawab karyawan adalah menyiapkan rencana karir individu. Organisasi dapat membantu dengan menyediakan ahli yang terlatih untuk mendorong dan membimbing karyawan.

- Tanggung jawab manajer: manajer sebagai katalisator dan mengetahui keinginan bawahan, menunjukkan karyawan cara menjalankan proses pengembangan karir dan membantu karyawan mengevaluasi hasilnya.

- Pelaksanaan program pengembangan karir yang berhasil melibatkan empat langkah dasar pada tingkat individual:

  1. Penilaian oleh individu tentang kemampuan, minat dan tujuan karirnya.
  2. Penilaian oleh organisasi tentang kemampuan dan potensi individu. Sumber informasi organisasi yang dapat dipakai untuk menilai karyawan antara lain proses penilaian kerja, pusat penilaian, catatan pribadi (pendidikan dan pengalaman kerja sebelumnya).
  3. Menyampaikan pilihan karir dan kesempatan dalam organisasi. Organisasi mengumumkan dan mengiklankan lowongan kerja, memberitahu karyawan tentang ramalan/perkiraan perencanaan SDM.
  4. Konseling karir (untuk menetapkan tujuan dan rencana yang realistis) adalah aktivitas yang memadukan langkah-langkah yang berbeda dalam proses perencanaan karir. Konseling karir biasanya dilakukan oleh manajer karyawan yang terdekat, spesialis SDM, atau gabungan keduanya.

- Career Pathing (perjalanan karir) adalah serangkaian kegiatan pengembangan yang melibatkan pendidikan, training dan pengalaman kerja formal dan nonformal yang membantu membuat individu mampu menangani pekerjaan yang lebih maju di masa mendatang.

- Manajemen Pribadi Karir adalah kemampuan mengikuti perubahan yang terjadi dalam organisasi dan industri dan untuk menyiapkan masa depan. Ini menekankan perlunya karyawan secara perorangan untuk terus belajar.

- Pada umumnya, manajer yang berkeahlian dalam hubungan manusia dasar berhasil sebagai penasehat karir. Saran untuk manajer agar menjadi penasehat karir yang lebih baik adalah: (1) Mengetahui batas-batas konseling karir, (2) Menghormati kerahasiaan, (3) Membangun hubungan, (4) Mendengarkan secara efektif, (5) Mempertimbangkan alternatif, (6) Mencari dan berbagi informasi, (7) Membantu dengan pengenalan dan perencanaan tujuan.

- Mitos yang berhubungan dengan karir (yang terbukti salah):

Mitos yang dipegang karyawan:

Mitos 1: Selalu ada ruang untuk satu lagi orang di posisi atas. Hal ini bertentangan, karena semakin keatas, posisi jabatan yang ada semakin sedikit.

Mitos 2: Kunci keberhasilan berada pada tempat dan waktu yang tepat. Orang yang mengikuti mitos ini menolak filsafat dasar perencanaan, yakni orang dapat mempengaruhi masa depan daripada sekedar menerimanya. Mitos ini berbahaya karena membuat orang mudah puas dan mudah menyerah.

Mitos 3: Bawahan yang baik dapat menjadi atasan yang baik. Ini tidak benar, karena unggul pada suatu pekerjaan tidak berarti unggul pada semua pekerjaan.

Mitos 4: Pengembangan dan perencanaan karir adalah pekerjaan HRD. Yang benar, pengembangan dan perencanaan karir adalah tanggung jawab individu.

Mitos 5: Semua kebaikan untuk mereka yang bekerja lama & jam yang berat

Mitos 6: Kemajuan yang pesat sepanjang karir adalah fungsi manajer.

Mitos 7: Cara untuk maju adalah menentukan kelemahan anda lalu bekerja keras mengoreksinya.

Mitos 8: Selalu mengerjakan sebaik mungkin, mengabaikan tugasnya.

Mitos 9: Memisahkan kehidupan rumah dan kehidupan kerja adalah bijak.

Mitos 10: Rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput kita sendiri.

Mitos yang dipegang Manajer:

Mitos 1: Pengembangan karir akan meningkatkan pengharapan.

Mitos 2: Kita akan dibanjiri dengan permintaan.

Mitos 3: Manajer tidak akan mampu mengatasi.

Mitos 4: Kita tidak memiliki sistem yang penting pada tempatnya.

- Career Plateau (taraf tanpa kemajuan dalam karir) adalah titik dalam karir seseorang dimana kemungkinan untuk peningkatan jabatan sangat rendah.

- Empat kategori karir yang pokok adalah:

  1. Pembelajar, yakni individu yang memiliki potensi untuk naik jabatan, yang bekerja dibawah standar. Misal: peserta pelatihan.
  2. Bintang, yakni individu dalam organisasi yang saat ini bekerja dengan sangat bagus dan berpotensi untuk kenaikan jabatan selanjutnya.
  3. Warga negara yang kokoh, yakni individu dalam organisasi yang kerjanya saat ini memuaskan tetapi kesempatan untuk naik jabatan di masa mendatangnya kecil.
  4. Orang yang tak berguna, yakni individu dalam organisasi yang kerjanya turun ke tingkat yang tidak memuaskan dan memiliki kemungkinan kenaikan jabatan yang sangat kecil.

Alasan menyelamatkan karyawan yang susah berkembang: 1) Pengetahuan tentang pekerjaan, 2) Pengetahuan organisasi, 3) Kesetiaan, 4) Perhatian akan kesejahteraan keselamatan mereka.

Lima kemungkinan untuk merehabilitasi mereka:

1. Memberikan cara pengenalan yang berganti-ganti.

2. Mengembangkan cara baru agar pekerjaan mereka saat ini lebih memuaskan.

3. Mengadakan revitalisasi lewat penugasan kembali.

4. Menggunakan program pengembangan diri berdasarkan kenyataan.

5. Mengubah sikap pimpinan terhadap karyawan yang susah berkembang.


Sistem Penilaian Hasil


- Penilaian hasil: proses menentukan dan menyampaikan pada karyawan bagaimana mereka melaksanakan tugas dan membuat rencana perbaikan.

- Hasil/prestasi: tingkat penyelesaian tugas yang merupakan kerja karyawan.

- Metode Penilaian Hasil:

1. Penetapan cita-cita atau manajemen menurut kerja (MBO) meliputi: menetapkan pernyataan yang jelas tentang tujuan kerja yang akan dilaksanakan oleh karyawan, membuat rencana tindakan yang menunjukkan bagaimana tujuan akan dicapai, membolehkan karyawan melaksanakan rencana tindakan, mengukur prestasi obyektif, melakukan tindakan korektif jika perlu, menetapkan tujuan baru untuk masa depan.

2. Pendekatan standar kerja: metode penilaian hasil yang melibatkan penetapan standar atau tingkat output yang diharapkan dan kemudian membandingkantiap tingkat karyawan dengan standarnya.

3. Penilaian Banyak Penilai (multi-rater) atau feedback 360 derajat. Dengan metode ini, manajr, rekanan, pelanggan, pensuplai, atau kolega diminta menyelesaikan kuisioner tentang karyawan yang dinilai.

4. Penilaian esai: metode penilaian hasil dimana penilai membuat pernyataan tertulis yang menggambarkan kekuatan, kelemahan, dan hasil di masa lalu seorang individu.

5. Penilaian insiden kritis: metode penilaian hasil dimana penilai menyimpan catatan tertulis tentang insiden yang menggambarkan perilaku positif maupun negatif karyawan. Penilai kemudian memakai insiden ini sebagai dasar mengevaluasi hasil prestasi karyawan.

6. Skala penilaian grafis: metode penilaian hasil yang menuntut penilai menunjukkan dengan skala dimana karyawan menilai faktor seperti kuantitas kerja, ketergantungan, pengetahuan kerja, dan kerjasama.

7. Ceklist: metode penilaian hasil dimana penilai menjawab pertanyaan ya atau tidak tentang perilaku karyawan yang dinilai.

8. Skala Penilaian dengan Patokan Perilaku (BARS): metode penilaian hasil yang menentukan tingkat hasil/prestasi karyawan berdasarkan pasti atau tidaknya perilaku kerja yang digambarkan secara khusus.

9. Penilaian pilihan paksaan: metode penilaian hasil yang memerlukan penilainya untuk merangking satu set pernyataan yang menggambarkan bagaimana karyawan melaksanakan tugas dan tanggungjawab pekerjaan.

10. Metode rangking: metode penilaian hasil dimana hasil prestasi karyawan dirangking sesuai hasil karyawan lainnya.