Sunday, June 6, 2010

Kecerdasan, Belajar, dan Penuaan

Kecerdasan, Belajar, dan Penuaan


Dalam menyelidiki belajar bersama dengan penuaan, para teoretikus menekankan perencanaan perubahan yang terjadi pada kecerdasan, ingatan, pemikiran, dan kreativitas ketika orang dewasa tumbuh menjadi tua. Sayangnya, banyak riset ‘mengikuti orientasi budaya kita dalam memusatkan pada aspek penuaan yang melemahkan badan….Tentu saja itu merupakan indikasi bahwa penuaan berhubungan dengan pertumbuhan atau fungsi yang meningkat dalam beberapa bidang.” Pembahasan tentang fungsi dan penuaan intelektual berikut menunjukkan suatu pandangan yang agak optimis, bahwa pengetahuan yang kemampuannya dipelihara serta penurunannya dapat dipakai untuk membantu dalam berakomodasi dan beradaptasi dengan perubahan seperti itu.


Menurut sejarah, para peneliti telah meneliti belajar dan penuaan dengan memetakan perubahan dalam fungsi kecerdasan. Namun usaha untuk mengukur kecerdasan orang dewasa telah mengalami kekurangan konsensus mengenai apa yang sedang diukur. Birren menjelaskan bahwa kenyataannya kecerdasan tidak akan tetap sepanjang hidup. Bagi anak-anak, “kecerdasan adalah variabel yang menentukan batas atas penguasaan atau tingkat penguasaan kurikulum sekolah.” Namun fungsi orang dewasa yang efektif bisa menjadi “kemampuan yang menyebabkan hubungan dengan orang lain terlaksana, biasanya dengan pemakaian kata-kata yang efektif.” Birren terus berspekulasi bahwa “jika kecerdasan/inteligensi sosial ditekankan sebagai kriteria kecerdasan orang dewasa, maka ukuran pemahaman verbal dapat ditimbang lebih berat dari ukuran fungsi perseptual.”


Karya penting yang pertama tentang kecerdasan orang dewasa diterbitkan oleh E. L. Thorndike pada tahun 1928. Bertentangan dengan pemikiran umum, penyelidikannya yang sistimatis tentang kemampuan orang dewasa untuk belajar menunjukkan bahwa orang dewasa dapat belajar dan bahwa kecerdasan tidak menurun secara signifikan bersama usia. Evaluasi yang optimis seperti itu berkembang meski terdapat kenyataan bahwa eksperimennya melibatkan faktor-faktor yang telah ditunjukkan untuk memberi gambaran negatif belajar dan penuaan. Studinya adalah cross-sectional yang menguji kelompok muda dibandingkan kelompok tua. Kebanyakan hasil studinya berdasarkan pada tugas yang dibatasi waktu dan/atau tugas motor, dan tugas yang dipilih tidak begitu berarti bagi partisipan (contohnya belajar menulis dengan tangan kiri atau menghafal bahasa yang dibuat-buat).


Yang lebih menarik terutama bagi para pendidik dewasa adalah pendapat Thorndike bahwa faktor-faktor selain kecerdasan dapat mempengaruhi belajar orang dewasa secara signifikan. Thorndike membuktikan bahwa kesehatan dan kekuatan umum, minat belajar, dan kesempatan sebagai faktor yang bisa mempengaruhi kuantitas belajar orang dewasa. Ia juga melihat bahwa “orang dewasa belajar jauh lebih kurang dari yang seharusnya karena perhatian dan komentar yang tidak menyenangkan.” McLeish memperhatikan perspektif Thorndike berkenaan dengan belajar orang dewasa:


Pembelajaran orang dewasa adalah semacam Deklarasi Hak-hak orang Dewasa Sedunia untuk Belajar. Thorndike menghendaki masyarakat dimana akan ada pembagian kembali jam-jam pengalaman belajar formal, sehingga ini bisa disebarkan kedalam dan lewat kehidupan orang dewasa. Ia melihat betapa seringnya muatan dan strategi pengajaran tidak cukup untuk pelajar dewasa. Ia menyebutkan perlunya kemampuan konseling untuk orang dewasa, konseling untuk dewasa oleh kawan sebaya untuk mereka yang keraguannya untuk belajar atau sering hilangnya semangat belajar mengganggu petualangan belajar mereka. Ia mendorong sebuah pendekatan yang lebih pantas untuk “dropout” dari kelompok dewasa, mungkin orang dewasa kebetulan tahu apa yang ia perlukan dan yang tidak, atau mungkin terdapat pesan untuk instruktur dan institusi….Dan Thorndike menyesalkan orang-orang yang memberlakukan tes untuk orang dewasa yang disyahkan dan distandarkan untuk anak-anak dan penggunaan di sekolah.


Keberatan Thorndike pada penggunaan tes IQ yang dirancang untuk anak-anak digunakan juga untuk orang dewasa hampir tidak diperhatikan selama paruh pertama abad 20. Ketika Binet mengembangkan tesnya untuk anak-anak abnormal, diduga bahwa kecerdasan ditetapkan sebelumnya secara genetik dan relatif diperbaiki pada awal usia belasan tahun. Oleh karena itu, sedikit perlu disesuaikan antara tes dan kelompok usianya. IQ dapat ditentukan pada usia berapapun. Berdasarkan asumsi ini pada tahun 1930, Jones dan Conrad mengadakan Army Alpha test pada penduduk sebuah desa di New Hampshire yang berusia antara 10 dan 60 tahun. Mereka menemukan bahwa yang berusia 18 sampai 21 tahun mendapat skor tertinggi dan setelah usia 21 IQ terus berkurang. Namun demikian, sebuah studi berikutnya tentang tingkat pendidikan partisipan menampakkan suatu hubungan dengan penyebaran skor IQ. Walau demikian, baru ketika muncul studi longitudinal kecerdasan setelah tahun 1950, dugaan tentang menurunnya kecerdasan yang signifikan yang dihubungkan dengan penuaan mulai diragukan.


Skala Kecerdasan Orang Wechsler (WAIS) yang dirancang oleh David Wechsler pada awal tahun 1930-an menjadi tes kecerdasan yang paling umum digunakan. WAIS dibakukan untuk tiap kelompok usia orang dewasa yang terdiri atas 11 subtes, yang masing-masing memiliki komponen fungsi kecerdasan yang berbeda. Skor Kecerdasan Verbal berdasarkan informasi umum, hafalan jangka pendek, pemikiran umum, dan Skor Kecerdasan Tindakan yang berdasarkan pemikiran dan kemampuan abstrak untuk memanipulasi obyek dipadukan untuk menghasilkan skor keseluruhan. Wechsler sendirian percaya bahwa fungsi kecerdasan berkurang dengan bertambahnya usia. Namun demikian, banyak studi longitudinal cenderung mendukung pemikiran bahwa komponen kecerdasan yang berbeda (seperti dibedakan oleh ke-11 subtes WAIS) menunjukkan kecenderungan yang berbeda yang berhubungan dengan usia. Pada suatu tinjauan studi longitudinal, Jarvik menyimpulkan bahwa “satu urutan yang menimbulkan pola kohesif fungsi kecerdasan pada tahun-tahun kehidupan selanjutnya” adalah “kestabilan skor verbal yang luar biasa, kapanpun kesehatan terpelihara, disertai oleh penurunan bertahap yang kuat pada hasil tugas-tugas yang cepat.”


Yang kurang lebih sama dengan IQ Performans dan IQ Verbal Wechsler adalah teori Catell tentang kecerdasan “yang tidak tetap” dan “nyata”. Model menurut Catell keduanya fleksibel dan berhubungan dengan perkembangan serta memberikan perspektif yang menarik pada kompleksnya kecerdasan manusia. Kecerdasan yang tidak tetap adalah berdasarkan genetik, terbatas secara neurofisiologis, dan tidak terikat oleh pendidikan atau pengalaman hidup. Kecerdasan yang tidak tetap, memuncak selama akhir masa remaja dan kemudian berangsur-angsur menurun selama masa dewasa. Penurunan ini tercermin pada subtes perilaku WAIS. Namun, kecerdasan yang nyata meningkat dengan usia. Tipe kecerdasan ini tergantung pada pengalaman, pengetahuan yang terkumpul, dan saling mempengaruhinya antara organisme dan lingkungan sosialnya. Menurunnya kecerdasan yang tidak tetap dan meningkatnya kecerdasan nyata bertindak sebagai penyama dengan pengaruh akhir ukuran IQ keseluruhan yang agak tetap selama masa dewasa.


Persamaan dapat ditarik antara model kecerdasan Catell dan kreativitas pada masa dewasa. Penyelidikan tentang hubungan antara hasil dan usia kreatif tampak mendukung gagasan bahwa “semakin sebuah tindakan kreatif tergantung pada perkembangan yang terkumpul… kemungkinannya semakin banyak terjadi pada tahun-tahun terakhir dalam hidup.” Dalam meninjau riset dalam bidang ini, Troll melihat bahwa “tindakan kreatif seorang ahli matematika atau seniman bisa melibatkan proporsi kecerdasan yang tidak tetap yang lebih besar, dan tindakan kreatif novelis dan filsuf melibatkan proporsi kecerdasan nyata yang lebih besar.”


Kecerdasan telah menjadi satu fokus penelitian belajar dan penuaan. Fokus lain adalah fungsi kognitif yang meliputi belajar, ingatan dan penyelesaian masalah. Bersama dengan tes kecerdasan, studi proses kognitif pada orang dewasa telah banyak membangkitkan orientasi behavioris dan teoritikus kognitif. Yakni, kebanyakan peneliti telah menempatkan orang dewasa dalam sebuah pengalaman di lingkungan laboratorium, memberikan situasi stimulus, dan mengamati hasilnya. Perbedaan perilaku antara subyek dewasa tua dan muda telah ditafsirkan sebagai perubahan yang berkaitan dengan usia. Pengertian kognisi yang ditunjukkan oleh Arenberg mencerminkan orientasi pada tindakan dalam riset: “Proses mendaftar, menyimpan, dan memperoleh kembali informasi dan memanipulasi informasi itu untuk memecahkan masalah.”


Pembelajaran verbal sebagai satu aspek fungsi kognitif difokuskan pada perhatian dan set, praktek, kecepatan tindakan, dan strategi belajar. “Bukti yang telah terkumpul sedikit demi sedikit tentang pembelajaran hewan dan manusia mengungkapkan” Kata Birren, “bahwa perubahan dengan usia pada kemampuan dasar untuk belajar adalah kecil dalam kebanyakan situasi.” Perbedaan yang tampak adalah “lebih mudah dihubungkan dengan proses persepsi, set, perhatian, motivasi, dan keadaan psikologi organisme….daripada dihubungkan dengan perubahan pada kapasitas/kemampuan dasar untuk belajar.” Arenberg juga memperhatikan bahwa studi-studi pada belajar verbal memasukkan variabel-variabel lain (kecepatan langkah menjadi yang paling kuat) yang mempengaruhi perbedaan usia dalam tindakan. Secara keseluruhan, orang dewasa yang lebih tua kelihatan banyak membuat kesalahan karena kelalaian daripada perbuatan. Yakni, mereka mungkin tidak merespon sama sekali daripada menjawab dengan salah. Membolehkan penentuan kecepatan langkah sendiri untuk tugas belajar dapat mengurangi kesalahan karena kelalaian. Eisdorfer membuat penemuan menarik berkenaan dengan kecepatan dan belajar. Subyek yang lebih tua dalam kondisi tes bisa mengalami keadaan dorongan yang tinggi (seperti diukur oleh asam lemak bebas dalam darah) yang menghalangi respon. Eisdorfer menunjukkan bahwa respon ini dapat dikontrol dengan memberikan obat yang menekan dorongan. Studinya yang menambah kepercayaan pada posisi yang mengubah kemampuan belajar verbal lebih berhubungan dengan variabel konteks daripada pada perubahan kapasitas untuk belajar.


Ingatan adalah aspek fungsi kognitif lainnya yang telah dipelajari berkenaan dengan usia. Memisahkan ingatan dari belajar tidak mudah dilakukan, karena “perubahan ingatan bersama usia cenderung mempengaruhi belajar, dan perubahan dalam belajar bersama usia cenderung mempengaruhi ingatan saat ini.” Meskipun demikian, para peneliti telah membedakan antara ingatan jangka pendek dan jangka panjang dan telah mendalilkan sebuah model pemrosesan informasi sebagai kerangka kerja penyelidikan. Dalam model ini, ingatan terdiri atas input (perolehan atau penangkapan), penyimpanan, dan output (ingatan atau perolehan kembali) Kebanyakan studi menemukan bahwa terdapat sedikit perubahan bersama usia pada ingatan jangka panjang atau pada penyimpanan informasi. Perubahan yang berhubungan dengan usia terjadi pada perolehan ingatan jangka pendek, mungkin karena melemahnya indra. Apa yang akan diingat pertama-tama harus diproses lewat indra dan semua panca indra terutama penglihatan dan pendengaran yang berkurang dengan usia. Informasi yang telah didaftar dan disimpan dapat diperoleh kembali dengan mudah. Studi menunjukkan bahwa orang dewasa yang lebih tua perlu lebih lama untuk mencari informasi yang tersimpan. Faktor lain yang mungkin memberi perolehan kembali adalah pengabaian, interferensi, kegiatan neurokimia, dan fungsi psikologi.


Penyelesaian masalah, dimensi pemikiran proses kognitif dan penuaan kurang diselidiki daripada ingatan atau belajar. Arenberg berkata bahwa ini mungkin berhubungan dengan “kesulitan dalam mengukur perilaku.” Setelah meninjau pekerjaan tentang penyelesaian masalah dan penuaan, Arenberg menyimpulkan:

Secara umum, penemuan dari studi penyelesaian masalah menunjukkan perbedaan umur hanya seperti yang ditemukan dalam banyak studi belajar verbal dan ingatan. Studi yang memberi kesempatan untuk subyek memperoleh informasi menunjukkan bahwa orang jompo lebih banyak menanyakan keterangan terutama keterangan noninformatif. Orang tua juga kurang efektif dalam menggunakan informasi yang mereka minta atau yang telah ditunjukkan oleh peneliti. Baik analisis (mendapat informasi) dan sintesis (memproses informasi untuk mendapat pemecahan) tampak melemah dengan bertambahnya usia.


Knox telah mengidentifikasi sedikitnya lima faktor yang akan tampak memberi kontribusi pada kemampuan penyelesaian masalah dan yang menggambarkan hubungan belajar dan ingatan serta strategi penyelesaian masalah. Lima faktor itu adalah: penurunan kapasitas ingatan jangka pendek, kesulitan yang bertambah dalam mengorganisir materi kompleks, campur tangan yang besar dari belajar yang sebelumnya, kesulitan yang lebih besar dalam mengabaikan aspek yang tidak sesuai dalam situasi belajar, dan kemampuan yang berkurang untuk membedakan antar stimulus.


Dalam usaha untuk merespon pertanyaan apakah belajar semakin mundur atau tidak dengan bertambahnya usia, Botwinick menyimpulkan bahwa hal ini tidak mudah untuk dijawab karena saling berhubungannya variabel kognitif dan nonkognitif perilaku. Faktor nonkognitif bisa menghalangi atau mempermudah perilaku orang dalam tugas belajar tetapi tidak berhubungan dengan kemampuan belajar bawaan. Diantara faktor-faktor nonkognitif itu adalah: (1) penentuan langkah (kecepatan), waktu ketika seseorang harus menguji masalah atau merespon situasi, (2) kepentingan, bagaimana materi yang sesuai dan lazim membuat perbedaan dalam belajar, dan (3) motivasi, alasan orang termotivasi mempengaruhi belajar. Variabel kognitif dihubungkan dengan kecakapan atau “kemampuan belajar yang sebenarnya.” Botwinick membedakan tiga hal: (1) organisasi, kemampuan untuk mengatur meteri menjadi unit yang teratur, (2) Perantaraan, kemampuan menghubungkan dua atau lebih unsur kegiatan belajar dan (3) ketegaran dan kehati-hatian, suatu konsep multidimensi yang menunjuk pada besarnya kefleksibelan seseorang yang harus membuat respon kognitif yang sesuai.


Ketika tidak mengidentifikasi mereka sebagai variabel nonkognitif, para peneliti melihat hadirnya faktor lain yang mempengaruhi belajar serta menyebabkan perbedaan individu yang besar pada usia tertentu. Birren melihat motivasi, kecepatan, keterpautan, set atau harapan tidak berhubungan dengan kemampuan belajar intrinsik. Kondisi fisik, kelas sosial termasuk tingkat pendidikan, dan kepribadian juga bisa menyebabkan kecenderungan usia pada kemampuan belajar yang diamati. Dan menurut Eisdorfer, “yang penting sekali” dari kesehatan jasmani harus dipertimbangkan ketika membuat generalisasi tentang perilaku kognitif maupun intelektual.


Seperti yang disarankan oleh banyak peneliti, penyelidikan belajar brsama dengan penuaan mengalami ksulitan dalam memisahkan kemampuan belajar dari sekelompok variabel campuran. Dan ketika kecerdasan dan proses kognitif telah diteliti secara terpisah, ada sedikit kesepakatan perihal cara suatu komponen dapat dibedakan dari yang lainnya. Setelah meninjau penelitian tentang belajar dan penuaan, Baltes dan Labouvie menyimpulkan bahwa kesesuaiannya terletak pada menerapkan apa yang diketahui suatu konteks sosial yang besar. Kesimpulan mereka penting untuk para pendidik: “Aspek utama reformasi pendidikan harus memasukkan pendistribusian kembali program pendidikan sepanjang hidup.”


Singkatnya, jelas bahwa banyak pendekatan dimasukkan dalam bagian tentang proses belajar ini. Terdapat perbedaan pokok antara behavioris dan Gestaltis, dan antara teoritikus kognitif dan teoritikus yang meneliti belajar orang dewasa bersama dengan penuaan. Apa yang memperbolehkan pendekatan-pendekatan ini untuk dipadukan adalah pandangan umum tentang belajar sebagai fenomena yang dibuktikan dengan perubahan perilaku. Perubahan seperti itu dapat dikendalikan menjadi banyak dengan memenipulasi variabel lingkungan. Dari para pembuat hubungan yang menghasilkan respon pada stimulus tertentu, pada peneliti masalah kedewasaan dan penuaan yang dapat memperoleh hasil yang dapat diperkirakan oleh berbagai kecepatan sebuah tugas, penekanan telah berada pada lingkungan laboratorium percobaan di mana proses belajar sendiri dipelajari. Riset tentang proses belajar telah membuat kontribusi variabel yang penting terhadap pemahaman sifat belajar, proses mental, dan perubahan kecerdasan dan fungsi kognitif yang berhubungan dengan usia. Prinsip belajar yang sesuai dengan pendidikan masyarakat bisa diambil dari teori behavioris, Gestaltis, dan teoritikus kognitif. Daftar berikut ini tidaklah mendalam, namun lebih menunjukkan contoh beberapa penemuan dari riset proses belajar yang dapat digunakan sebagai garis pedoman praktek pendidikan:

  1. Kesiapan orang dewasa untuk belajar tergantung pada kuantitas belajar sebelumnya. Semakin banyak pengetahuan yang dikumpulkan oleh seseorang semakin baik ia menyerap informasi baru dan melakukan cara pemikiran yang rumit. Berbagai sifat pengalaman pendidikan masa lalu suatu kelompok pelajar dewasa menegaskan keragaman awal mula kegiatan pendidikan apapun.
  2. Motivasi intrinsik menghasilkan belajar yang lebih meresap dan permanen. Ketika kebutuhan langsung dipenuhi oleh belajar itu sendiri, apa yang dipelajari menjadi suatu bagian utuh pelajar. Motivasi ekstrinsik bisa menghasilkan belajar tetapi belajar tidak seefektif belajar yang termotivasi secara intrinsik. Jadi, membuat kegiatan pendidikan seputar kebutuhan pelajar dewasa memastikan belajar yang permanen.
  3. Penguatan belajar positif (hadiah) lebih efektif dari penguatan negatif (hukuman). Ketika banyak orang dewasa merasa tidak aman dan takut akibat pengalaman negatif pada pendidikan sekolah yang pertama, perasaan sukses dalam belajar adalah penting untuk belajar dan partisipasi yang berlanjut.
  4. Untuk memaksimalkan belajar, informasi harus ditunjukkan dengan suatu cara yang terorganisir. Materi dapat disusun untuk memulai dari yang sederhana sampai yang rumit atau dapat diatur seputar konsep yang berhubungan. Permulaan untuk mengatur sekumpulan materi untuk orang dewasa berhubungan dengan pengalaman dan pengetahuan masa lalu orang dewasa.
  5. Belajar, terutama mengenai perkembangan keahlian ditingkatkan oleh pengulangan, terutama dengan jangka waktu yang sistimatis selama suatu periode waktu.
  6. Materi dan tugas penting lebih mudah dipelajari dan lebih lama diingat daripada materi yang tidak penting atau tidak berguna. Hal ini sangat benar bagi pelajar dewasa yang sudah tua. Informasi atau tugas apapun memiliki kemungkinan menjadi penting atau tidak. Tantangan bagi fasilitator belajar orang dewasa adalah mencari cara dimana materi dapat berhubungan secara signifikan dengan pengalaman dan kebutuhan orang dewasa.
  7. Dibandingkan partisipasi pasif, partisipasi aktif dalam kegiatan belajar meningkatkan belajar. Orang dewasa yang terlibat sendiri, yang “menemukan” sendiri hubungan, konsep, pengertian diberi balasan oleh belajar itu sendiri. Para pendidik dewasa yang memperbolehkan partisipasi aktif membantu mengadakan belajar yang penting dan permanen.
  8. Faktor lingkungan mempengaruhi belajar. Stimulus yang nyata seperti, kegaduhan, ruang duduk yang ramai, suhu, pencahayaan, dll dapat mengganggu proses belajar. Faktor lain seperti ketegangan, ejekan, tekanan, kelelahan, dan kesehatan yang buruk juga bisa mengganggu belajar. Hasil belajar orang tua sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan.


KESIMPULAN


Kumpulan prinsip yang telah disebutkan diatas yang diambil dari riset tntang proses belajar sangat bermanfaat sebagai suatu pedoman untuk penetapa instruksi. Namun ini tidak mermberikan wawasan yang banyak pada apa yang membedakan pelajar dewasa dari anak-anak. Sebagian besar dari pedoman itu dapat diterapkan pada anak-anak serta orang dewasa. Hanya dengan menggunakan penemuan yang berhubungan dengan proses belajar bersama dengan pemahaman sifat-sifat kedewasaan yang unik, seseorang dapat mulai memahami sifat belajar orang dewasa.


Konteks perkembangan psikososial memberikan kerangka untuk memahami kesiapan dan orientasi orang dewasa untuk belajar. Pendekatan seperti itu mengharuskan melihat orang dewasa sebagai suatu perubahan, perkembangan yang menjadi respon dan memiliki pengaruh pada variabel-variabel psikologis, fisik, dan sosial. Ketika mengenali keunikan individu, perspektif ini melibatkan usaha untuk menggambarkan keteraturan pengalaman sepanjang hidup. Kebiasaan dengan pola perkembangan psikososial orang dewasa memberikan wawasan pada perbedaan antara pelajar dewasa dan pra-dewasa, membantu menjelaskan belajar yang sistimatis dan insidental yang terjadi pada masa dewasa, dan memberikan pedoman untuk menyusun kegiatan pendidikan yang penting.

Filosofi dan psikologi manusia juga memberi kontrbusi pada pemahaman pelajar dewasa. Orang dewasa yang bebas dan bekerja sendiri dapat memandu dan mendukung prtumbuhan dan perkembangan mereka sendiri. Apakah seseorang sedang mengusahakan aktualisasi diri, kedewasaan yang lebih besar, atau memiliki fungsi yang penuh, penekanannya adalah pada peningkatan diri yang terus-menerus lewat belajar. Pendekatan andiagogis Knowles pada belajar orang dewasa didasarkan pada asumsi kemanusiaan.


Pembelajaran orang dewasa adalah suatu fenomena kompleks. Ketika membagi keserasian dengan pembelajaran anak-anak, terdapat perbedaan pokok waktu yang sama yang mengharuskan mendekatkan siswa dewasa berbeda dari anak-anak sekolah. Konsep bebas orang dewasa, kemampuan belajar sendiri, kesiapan, dan orientasi belajar adalah faktor-faktor interaktif yang membantu menerangkan tidak hanya perbedaan besar diantara pelajar dewasa, tetapi juga banyak perbedaan keserasian.