Wednesday, November 11, 2009

Studi Kasus Tentang Penilaian Perilaku dan Perawatan Terhadap Fobia Serangga



STUDI KASUS TENTANG PENILAIAN PERILAKU DAN
PERAWATAN TERHADAP FOBIA SERANGGA

"Kami menilai prestasi akademik anak usia 14 tahun dengan fobia serangga dalam hubungannya dengan rangsang yang ditakuti. Ukuran terikatnya adalah nilai perhitungan pasti melalui tiga kondisi yang membeda-bedakan pernyataan ahli terapi mengenai adanya jangkerik dan keberadaan yang nyata jangkerik hidup. Perawatan berikutnya meliputi penyingkapan yang bertingkat-tingkat dan hadiah yang tergantung untuk penyelesaian persoalan pasti. Hasil penilaian menunjukkan bahwa prestasi anak tetap rendah dengan adanya jangkerik hidup tetapi tidak ketika ia diberi informasi palsu bahwa ada jangkerik (hal penyerahan primer). Hasil perawatan menunjukkan tidak ada efek penyingkapan itu sendiri dan sebuah efek dramatis saat penyingkapan dipadukan dengan hadiah yang tergantung."
Deskriptor: penilaian perilaku, kecemasan, fobia serangga, gangguan perilaku, analisis perilaku klinis.
Di antara ribuan karangan ilmiah yang terbit mengenai gangguan kecemasan, hampir semuanya melaporkan pemakaian bentuk penilaian tradisional seperti skala, daftar pilihan pertanyaan, dan inventaris rasa takut (friman, Hayes, & Wilson, 1998; King, 1993). Satu subset gangguan kecemasan yang respon campurannya kelihatan sesuai untuk penilaian perilaku adalah fobia serangga (entomophobia). Penghindaran atau larinya seseorang dari serangga memperkuat tingkatan susunan yang berbeda dari perilaku maladaptif. Perawatan konvensional untuk fobia serangga melibatkan penyingkapan ulang terhadap rangsang yang tersusun secara hierarkhi dengan sifat resmi yang menyerupai anggota pokok klas fobia (misal: jangkerik) dan terhadap rangsang yang berbeda, dengan fungsi yang sama. (misal: ejekan tentang adanya jangkerik) (Friman dkk, 1998:King’ 1993). Ketika penilaian perilaku digunakan untuk mengevaluasi perawatan, pada dasarnya mereka memfokuskan pada pendekatan terhadap rangsang fobia. Sekalipun begitu, karena kriteria diagnosis untuk fobia meliputi prestasi yang terganggu, memasukkan ukuran prestasi ke dalam penilaian akan memberikan lebih banyak analisis perilaku yang lengkap dan relevan secara klinis (Friman dkk, 1998). Kami tidak menemukan studi tentang penilaian dan perawatan fobia serangga yang memakai prestasi sebagai ukuran ketergantungan. Tujuan studi saat ini adalah mengevaluasi penilaian dan perawatan fobia serangga menggunakan respon akademis sebagai ukuran terikat/ketergantungan.

METODE

Partisipan
Mike, seorang anak berusia 14 tahun yang didaftarkan di SMP di Boy’s Town, mendapat perhatian dari kepala sekolahnya karena adanya serangga di dalam kelas dan ejekan soal serangga benar-benar mengganggu prestasi akademiknya. Mike melaporkan bahwa ia mengalami kesulitan berkonsentrasi dan bekerja saat ia berpikiran binatang-binatang kecil bisa muncul dan bahwa ia sering digoda teman-temannya (seperti: “Mike, ada binatang di bawah kursimu!”). Responnya untuk melihat serangga mengabaikan pekerjaannya, memakai kerudung pada jeketnya, atau berteriak-teriak. Mike mengenal jangkerik, laba-laba, dan kumbang kecil sebagai serangga-serangga yang paling ia takuti.
Pengukuran
Meskipun rangsang fobia bisa mempengaruhi perilaku dengan berbagai cara, kita memfokuskan pada prestasi akademik karena ini merupakan masalah utama yang dilaporkan oleh kepala sekolahnya. Pengukuran ketergantungannya adalah nilai hasil kerja Mike dengan adanya jangkerik yang dibeli dari toko hewan peliharaan lokal. Dua atau tiga pemeriksaan yang tepat selama 4 menit dilakukan tiap sesi, selama itu Mike duduk di bangku dalam sebuah ruang kerja (7 m x 7 m) dengan satu dari 30 lembar soal kelas tiga yang bergantian di atas meja. Mike diperintahkan untuk menyelesaikan soal sebanyak mungkin dan nilai responnya adalah jumlah rata-rata yang benar tiap pemeriksaan 4 menit. Dua puluh lembar soal (26%) dinilai sendiri oleh ahli terapi dan orang lain. Kesepakatan para penilai yang dihitung dengan membagi kalkulasi yang lebih rendah dengan yang paling tinggi dan mengalikan dengan 100%, direntang dari 80% sampai 100% (M = 98%).

Penilaian
Kami menilai efek hadirnya/adanya serangga, tidak adanya serangga, dan pernyataan lisan mengenai serangga terhadap nilai respon akademik Mike. Di antara pelaksanaan pemeriksaan matematis, Mike dan ahli terapi terlibat dalam percakapan sepintas lalu dalam 15 sampai 20 menit (seperti: olah raga, nilai, teman).
Serangga. Mengikuti instruksi, ahli terapi melepaskan tiga jangkerik hidup di tengah lantai dan pergi.
Katakan serangga. Dengan kondisi Mike yang berada di luar, ahli terapi memindahkan jangkerik dan memeriksa ruangan untuk memastikan tidak ada serangga. Lalu ia membawa Mike masuk kembali dan berkata, “Ada serangga di dalam ruangan ini.”
Tak ada serangga. Kondisi ini sama dengan kondisi katakan serangga kecuali bahwa ahli terapi berkata pada Mike, “Tidak ada serangga dalam ruangan ini.”
Perawatan/Perlakuan
Dua kondisi perlakuan diterapkan yaitu (a) penyingkapan bertingkat dan (b) penyingkapan bertingkat plus penguatan.
Penyingkapan bertingkat. Mike terlibat dalam 15 sampai 20 menit latihan penyingkapan bertingkat segera sebelum pemeriksaan. Latihan ini termasuk sebuah hirarki tugas pendekatan perilaku, dari membawa satu guci berisi jangkerik sampai membawa satu jangkerik dengan masing-masing tangan selama 1 menit (lihat Tabel 1). Mike memilih tingkat penyingkapan pertama untuk tiap sesi dan terus sampai ia menolak melakukan langkah berikutnya. Mike menyelesaikan enam langkah dengan bantuan selama sesi pertama, dan menyelesaikan sendiri sembilan langkah sampai sesi terakhir. Sesudah itu, waktunya ditambah (misal: memegang seekor jangkerik selama 40 detik sampai 60 detik).
Tabel 1
Langkah-langkah dalam Hirarki Penyingkapan Bertingkat
  1. Memegang sebuah guci berisi jangkerik.
  2. Menyentuh jengkerik dengan kaki.
  3. Memejamkan mata selama 60 detik sambil berdiri dalam ruangan berisi jangkerik.
  4. mengambil seekor jangkerik dengan selembar kertas.
  5. Mengambil seekor jangkerik dengan sarung tangan.
  6. Memegang seekor jangkerik selama 20 detik dengan tangan kosong.
  7. Membiarkan jangkerik merayap pada kaki bercelana.
  8. Membiarkan jangkerik merayap pada tangan telanjang.
  9. Memegang jangkerik dengan masing-masing tangan selama 20 detik.
Penyingkapan bertingkat plus penguatan. Fase ini identik dengan kondisi penyingkapan kecuali bahwa Mike memperoleh poin untuk tiap langkah yang benar. Poin-poin ini ditukar pada akhir tiap-tiap minggu untuk item-item dari menu penguatan, meliputi sertifikat bakat Blockbuster, video, permen dan Legos.
Disain Percobaan
Sebuah disain multielemen dipakai untuk mengevaluasi akibat dari tiga kondisi penilaian. Disain A-B-BC-A-BC dipakai untuk membandingkan akibat kondisi percobaan. Prestasi Mike selama kondisi serangga yang pertama disajikan sebagai fase dasar awal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data penilaian pada panel pertama Gambar 1 menunjukkan tingkat kebenaran yang tinggi pada kondisi tak ada serangga relatif terhadap kondisi lainnya, pada awalnya rendah tetapi meningkat pada kondisi katakan serangga, dan tingkat yang rendah pada kondisi serangga. Data perlakuan/perawatan menunjukkan tidak ada kemajuan dalam kondisi penyingkapan dan tren yang meningkat pada kedua fase penyingkapan plus penguatan. Fase sebaliknya menghasilkan penurunan skor yang sedang, dengan dua sesi terakhir menghasilkan lebih sedikit soal yang benar dari pada sesi lainnya dari tiap fase perawatan gabungan.
Keterangan:
Gambar 1. Jumlah rata-rata soal yang benar tiap pemeriksaan 4 menit melalui penilaian (BL), penyingkapan bertingkat (G-E), dan kondisi penyingkapan plus penguatan (G-E+RF)
Hasil ini menunjukkan nilai penilaian perilaku praperawatan untuk menghilangkan fobia serangga. Meskipun guru melaporkan ejekan sebagai masalah utamanya, hasil penilaian menunjukkan bahwa kurangnya prestasi didukung oleh adanya jangkerik. Masalah prestasi dalam kondisi katakan serangga terpecahkan selama penilaian ketika rangsang lisan ini dihadirkan berulang-kali dalam keadaan tidak ada serangga. Hasil juga menunjukkan nilai perilaku adaptif yang menjadi sasaran yang secara langsung dipengaruhi oleh rangsang fobia dari pada pendekatan semata atau tindakan tidak langsung terhadap rasa takut atau cemas (Friman dkk, 1998). Terakhir, hasil memberi kesan bahwa hadiah-hadiah yang terprogram, ketergantungan pada respon adaptif, kadang-kadang diperlukan untuk mengatasi penguatan negatif yang diperkirakan dari penjauhan diri atau penghindaran terhadap rangsang fobia.

Kami menganggap studi ini sebagai pendahuluan karena efek buruk perawatan tidak meyakinkan. Tingkat perhitungan pasti selama fase dasar kedua kemungkinan karena akibat praktek dan keterlibatan serangga yang berulang-ulang. Persoalan yang kedua berkenaan dengan disain yang menyerupai akibat perawatan gabungan tetapi tidak membolehkan perbandingan langsung (B-BC) antara dua komponen perawatan. Batasan yang ketiga adalah bahwa kami secara resmi tidak menilai generalisasi. Informasi anekdot menyarankan bahwa generalisasi terhadap serangga, setting, dan perilaku adaptif lainnya mungkin terjadi. Guru Mike melaporkan bahwa ejekan teman-temannya telah banyak berkurang dan bahwa Mike tidak responsif saat ada ejekan. Apalagi penulis yang pertama mengamati bahwa Mike membunuh seekor laba-laba memakai kertas tisu segera setelah pelajaran berakhir. Meskipun terbatas, kami berharap studi ini merangsang untuk riset-riset lainnya pada penilaian perilaku dan perawatan terhadap fobia.





Pengaruh Kuat Lima Besar Sifat Kepribadian Terhadap Laporan Masalah Perilaku Anak Oleh Informan Yang Berbeda



Pengaruh Kuat Lima Besar Sifat Kepribadian Terhadap Laporan

Masalah Perilaku Anak Oleh Informan Yang Berbeda


Jurnal Psikologi Anak Abnormal, April 2005 oleh Gert Kroes,

Jan W. Veerman, Eric E.J. De Bruyn


Penilaian masalah perilaku anak berbeda menurut informan dan situasinya. Selalu hanya kesepakatan sederhana ditemukan di antara penilaian informan yang berbeda tentang fungsi anak (Achenbach, McConaughy, & Howel, 1987; Stanger & Lewis, 1993). Fenomena ini membentuk hambatan utama bagi peneliti dan ahli klinik yang sedang mencoba menilai perilaku dan masalah emosional anak secara akurat. Berbagai alasan untuk ketidaksepakatan telah diusulkan yaitu mekanisme umum seperti perangkat respon, sifat disukai, atau kemauan melaporkan perilaku negatif dari pihak informan (Youngstrom, Loeber, & Stouthamer-Loeber, 2000); faktor kepribadian informan seperti depresi dan kecemasan (Briggs-Gowan, Carter, & Schwab-Stone, 1996); faktor interaksional seperti hubungan anak dengan orang tua (Treutler & Epkins, 2003). Perilaku anak juga dapat berbeda sesuai situasi rumah, sekolah, tetangga, dan klinik (Kolko & Kazdin). Karena para informan yang berbeda itu mengamati anak-anak dalam situasi yang berbeda, maka situasi juga bisa memainkan peran yang penting dalam penciptaan ketidaksepakatan antar informan. Dalam studi ini, pengaruh kuat faktor kepribadian informan dalam laporan masalah perilaku anak diperiksa sambil mengontrol perbedaan situasional.


Pengaruh faktor-faktor kepribadian informan, khususnya depresi maternal, dalam laporan masalah perilaku anak telah sering diuji (cf. chilcoat & Breslau, 1997; Kroes, Veerman, & Be Bruyn, 2003; Youngstrom, Izard, & Ackerman, 1999). Pada banyak studi, tingkat masalah perilaku anak yang tinggi yang dilaporkan oleh para ibu diketahui dihubungkan dengan tingkat gejala depresif yang tinggi dalam diri para ibu sendiri. Pertanyaannya adalah bagaimana menafsirkan penemuan ini: Apakah laporan para ibu yang memiliki tingkat depresi tinggi mencerminkan tingkat masalah perilaku yang meningkat pada anak mereka, atau apakah depresi maternal (berhub. dg ibu) mengubah persepsi mereka tentang perilaku anak? Richters (1992) menjelaskan dua perspektif berbeda ini pada persepsi perilaku anak sebagai model keakuratan dan model distorsi. Pada banyak studi, psikopatologi maternal telah dijelaskan menyebabkan distorsi (misal, Conrad & Hammen, 1989) atau prasangka dalam laporan ibu mengenai masalah perilaku anak telah menjadi minimal, dan sedikit atau tidak memiliki arti klinis (Sawyer, Streiner, & Baghurst, 1998). Studi-studi terbaru melaporkan hasil-hasil campuran yang menyarankan bahwa kedua model dapat menggunakan: psikopatologi maternal, dapat dihubungkan dengan masalah perilaku diantara anak yang meningkat, dan ibu dengan gejala psikopatologi dapat melaporkan insiden dan/atau peliknya masalah tersebut (misal, Chilcoat & Breslau, 1977; Najman dkk, 2000).


Kebanyakan studi yang disebut diatas telah dihambat oleh masalah metodologis. Seperti ditunjukkan oleh Richters (1992), hipotesis keakuratan dan hipotesis distorsi memprediksi laporan perilaku anak yang lebih bermasalah dengan orang tua dengan gejala kejiwaan. Untuk menetapkan apakah laporan ini mencerminkan masalah anak yang sesungguhnya atau persepsi orang tua yang terdistorsi, diperlukan penilaian criteria yang “sah, bebas dari pengaruh depresi maternal” sendiri dan berdasarkan pada sampel “situasi dan perilaku sebanding dengan yang dicontohkan oleh penilaian ibu” (Richter, hal 487). Dalam semua studi yang ditinjau oleh Richters, situasi dan perilaku berbeda menurut informan. Oleh karena itu, perbedaan antara penilaian ibu dan kriteria bisa dianggap berasal dari perbedaan yang populer pada perilaku anak karena situasi (Achenbach dkk, 1987). Sebagai akibatnya, studi gagal memberikan bukti yang meyakinkan untuk pengaruh yang mendistorsi psikopatologi informan. Persyaratan rancangan terpenting untuk menguji hipotesis distorsi adalah standarisasi kerangka sampling perilaku anak untuk ibu dan informan kriteria. Ketika kondisi ini telah dijumpai, bukti-bukti berikut ini kemudian akan dibutuhkan untuk memberikan dukungan bagi hipotesis distorsi: “(a) ketidaksepakatan yang berhubungan dengan depresi antara ibu dan penilai kriteria dan (b) superioritas/keunggulan (misal, keakuratan) penilaian kriteria terhadap penilaian ibu” (Richters, hal 487). Akhirnya, Richters juga telah mengusulkan bahwa studi lapangan harus ditambah dengan studi laboratorium, contohnya sampel rekaman perilaku anak, sehingga memudahkan kontrol yang lebih banyak terhadap perilaku anak untuk diteliti.


Hanya sedikit studi yang dengan sengaja dirancang sesuai dengan ketentuan metodologi Richters hingga saat ini. Dalam sebuah studi laboratorium oleh Youngstrom dkk (1999), penilaian ibu atas sampel perilaku anaknya yang terekam dibandingkan dengan penilaian pengamat independen. Analisis multi regresi menunjukkan hubungan antara penilaian maternal dan penilaian peneliti yang direntang dari .32 sampai .41 untuk bermacam-macam tipe perilaku anak. Setelah menghilangkan perbedaan penilaian maternal dan peneliti, disforia maternal kemudian ditemukan untuk menjelaskan 2,3 – 20% perbedaan sisanya. Menariknya, korelasi yang ditemukan di antara informan yang berbeda dalam studi laboratorium ini sangat paralel dengan korelasi khusus yang ditemukan dalam riset lapangan (Achenbach dkk, 1987), dan banyaknya perbedaan yang dijelaskan oleh distres maternal di bawah kondisi laboratorium yang dikontrol dengan baik adalah sama dengan banyaknya perbedaan yang dijelaskan oleh depresi dalam studi lapangan (Fergusson, Lynskey, & Horwood, 1993).


Dalam studi yang berhubungan, Johnston dan Short (1993) menguji hubungan simptomatologi depresif dengan persepsi perilaku anak bagi ibu dan mahasiswi. Lebih jelasnya, wanita dewasa diminta untuk melengkapi ukuran simptomatologi depresif dan menilai perilaku aktor anak yang direkam. Untuk ibunya, gejala depresif berhubungan dengan persepsi yang lebih negatif dari perilaku anak yang diinternir dan dari perilaku prososial. Mahasiswi dengan gejala yang lebih depresif memiliki persepsi yang kurang positif terhadap perilaku prososial dan memberi penilaian menyeluruh yang lebih negatif terhadap perilaku yang dieksternalisir.


Hasil studi oleh Johnson dan Short (1993) menyarankan bahwa simptomatologi depresif secara negatif dapat mempengaruhi persepsi orang dewasa mengenai perilaku anak, dan bahwa distorsi persepsif tidak terbatas pada ibu dengan depresi yang menilai anak mereka yang bermasalah tetapi juga berlaku pada orang dewasa lainnya dengan gejala depresi yang menilai anak-anak tidak dikenal. Ini menekankan perlunya, seperti baru saja di tekankan oleh Richters (1992), untuk menguji pengaruh depresi pada orang dewasa yang bekerja secara profesional yang memiliki anak, yang dapat melibatkan guru, dan perawat anak. Ini juga memunculkan pertanyaan apakah keakraban dengan anak menimbulkan distorsi seperti dijelaskan oleh beberapa studi (Kendziora dan O’Leary, 1998; Lorber, O’Leary, & Kendziora, 2003; Snar, Strassberg, & Slep, 2003). Sebagai contoh, Kendziora dan O’Leary (1998) membandingkan penilaian ibu terhadap rekaman perilaku anak mereka sendiri dan anak yang tidak dikenal dengan penilaian pengamat independen. Mereka menemukan bahwa para ibu melaporkan lebih sedikit perilaku negatif anak mereka dari pada pengamat, dan juga bahwa para ibu mengevaluasi perilaku anak mereka lebih kurang negatif dari pada perilaku anak yang tidak dikenal.






Tuesday, October 27, 2009

Pengembangan Karir



Pengembangan Karir


- Perencanaan karir adalah proses dimana individu merumuskan tujuan karir dan membuat rencana untuk mencapai tujuan itu.

- Tanggung jawab organisasi adalah mengembangkan dan menyampaikan pilihan karir dalam organisasi kepada karyawan.

- Tanggung jawab karyawan adalah menyiapkan rencana karir individu. Organisasi dapat membantu dengan menyediakan ahli yang terlatih untuk mendorong dan membimbing karyawan.

- Tanggung jawab manajer: manajer sebagai katalisator dan mengetahui keinginan bawahan, menunjukkan karyawan cara menjalankan proses pengembangan karir dan membantu karyawan mengevaluasi hasilnya.

- Pelaksanaan program pengembangan karir yang berhasil melibatkan empat langkah dasar pada tingkat individual:

  1. Penilaian oleh individu tentang kemampuan, minat dan tujuan karirnya.
  2. Penilaian oleh organisasi tentang kemampuan dan potensi individu. Sumber informasi organisasi yang dapat dipakai untuk menilai karyawan antara lain proses penilaian kerja, pusat penilaian, catatan pribadi (pendidikan dan pengalaman kerja sebelumnya).
  3. Menyampaikan pilihan karir dan kesempatan dalam organisasi. Organisasi mengumumkan dan mengiklankan lowongan kerja, memberitahu karyawan tentang ramalan/perkiraan perencanaan SDM.
  4. Konseling karir (untuk menetapkan tujuan dan rencana yang realistis) adalah aktivitas yang memadukan langkah-langkah yang berbeda dalam proses perencanaan karir. Konseling karir biasanya dilakukan oleh manajer karyawan yang terdekat, spesialis SDM, atau gabungan keduanya.

- Career Pathing (perjalanan karir) adalah serangkaian kegiatan pengembangan yang melibatkan pendidikan, training dan pengalaman kerja formal dan nonformal yang membantu membuat individu mampu menangani pekerjaan yang lebih maju di masa mendatang.

- Manajemen Pribadi Karir adalah kemampuan mengikuti perubahan yang terjadi dalam organisasi dan industri dan untuk menyiapkan masa depan. Ini menekankan perlunya karyawan secara perorangan untuk terus belajar.

- Pada umumnya, manajer yang berkeahlian dalam hubungan manusia dasar berhasil sebagai penasehat karir. Saran untuk manajer agar menjadi penasehat karir yang lebih baik adalah: (1) Mengetahui batas-batas konseling karir, (2) Menghormati kerahasiaan, (3) Membangun hubungan, (4) Mendengarkan secara efektif, (5) Mempertimbangkan alternatif, (6) Mencari dan berbagi informasi, (7) Membantu dengan pengenalan dan perencanaan tujuan.

- Mitos yang berhubungan dengan karir (yang terbukti salah):

Mitos yang dipegang karyawan:

Mitos 1: Selalu ada ruang untuk satu lagi orang di posisi atas. Hal ini bertentangan, karena semakin keatas, posisi jabatan yang ada semakin sedikit.

Mitos 2: Kunci keberhasilan berada pada tempat dan waktu yang tepat. Orang yang mengikuti mitos ini menolak filsafat dasar perencanaan, yakni orang dapat mempengaruhi masa depan daripada sekedar menerimanya. Mitos ini berbahaya karena membuat orang mudah puas dan mudah menyerah.

Mitos 3: Bawahan yang baik dapat menjadi atasan yang baik. Ini tidak benar, karena unggul pada suatu pekerjaan tidak berarti unggul pada semua pekerjaan.

Mitos 4: Pengembangan dan perencanaan karir adalah pekerjaan HRD. Yang benar, pengembangan dan perencanaan karir adalah tanggung jawab individu.

Mitos 5: Semua kebaikan untuk mereka yang bekerja lama & jam yang berat

Mitos 6: Kemajuan yang pesat sepanjang karir adalah fungsi manajer.

Mitos 7: Cara untuk maju adalah menentukan kelemahan anda lalu bekerja keras mengoreksinya.

Mitos 8: Selalu mengerjakan sebaik mungkin, mengabaikan tugasnya.

Mitos 9: Memisahkan kehidupan rumah dan kehidupan kerja adalah bijak.

Mitos 10: Rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput kita sendiri.

Mitos yang dipegang Manajer:

Mitos 1: Pengembangan karir akan meningkatkan pengharapan.

Mitos 2: Kita akan dibanjiri dengan permintaan.

Mitos 3: Manajer tidak akan mampu mengatasi.

Mitos 4: Kita tidak memiliki sistem yang penting pada tempatnya.

- Career Plateau (taraf tanpa kemajuan dalam karir) adalah titik dalam karir seseorang dimana kemungkinan untuk peningkatan jabatan sangat rendah.

- Empat kategori karir yang pokok adalah:

  1. Pembelajar, yakni individu yang memiliki potensi untuk naik jabatan, yang bekerja dibawah standar. Misal: peserta pelatihan.
  2. Bintang, yakni individu dalam organisasi yang saat ini bekerja dengan sangat bagus dan berpotensi untuk kenaikan jabatan selanjutnya.
  3. Warga negara yang kokoh, yakni individu dalam organisasi yang kerjanya saat ini memuaskan tetapi kesempatan untuk naik jabatan di masa mendatangnya kecil.
  4. Orang yang tak berguna, yakni individu dalam organisasi yang kerjanya turun ke tingkat yang tidak memuaskan dan memiliki kemungkinan kenaikan jabatan yang sangat kecil.

Alasan menyelamatkan karyawan yang susah berkembang: 1) Pengetahuan tentang pekerjaan, 2) Pengetahuan organisasi, 3) Kesetiaan, 4) Perhatian akan kesejahteraan keselamatan mereka.

Lima kemungkinan untuk merehabilitasi mereka:

1. Memberikan cara pengenalan yang berganti-ganti.

2. Mengembangkan cara baru agar pekerjaan mereka saat ini lebih memuaskan.

3. Mengadakan revitalisasi lewat penugasan kembali.

4. Menggunakan program pengembangan diri berdasarkan kenyataan.

5. Mengubah sikap pimpinan terhadap karyawan yang susah berkembang.


Sistem Penilaian Hasil


- Penilaian hasil: proses menentukan dan menyampaikan pada karyawan bagaimana mereka melaksanakan tugas dan membuat rencana perbaikan.

- Hasil/prestasi: tingkat penyelesaian tugas yang merupakan kerja karyawan.

- Metode Penilaian Hasil:

1. Penetapan cita-cita atau manajemen menurut kerja (MBO) meliputi: menetapkan pernyataan yang jelas tentang tujuan kerja yang akan dilaksanakan oleh karyawan, membuat rencana tindakan yang menunjukkan bagaimana tujuan akan dicapai, membolehkan karyawan melaksanakan rencana tindakan, mengukur prestasi obyektif, melakukan tindakan korektif jika perlu, menetapkan tujuan baru untuk masa depan.

2. Pendekatan standar kerja: metode penilaian hasil yang melibatkan penetapan standar atau tingkat output yang diharapkan dan kemudian membandingkantiap tingkat karyawan dengan standarnya.

3. Penilaian Banyak Penilai (multi-rater) atau feedback 360 derajat. Dengan metode ini, manajr, rekanan, pelanggan, pensuplai, atau kolega diminta menyelesaikan kuisioner tentang karyawan yang dinilai.

4. Penilaian esai: metode penilaian hasil dimana penilai membuat pernyataan tertulis yang menggambarkan kekuatan, kelemahan, dan hasil di masa lalu seorang individu.

5. Penilaian insiden kritis: metode penilaian hasil dimana penilai menyimpan catatan tertulis tentang insiden yang menggambarkan perilaku positif maupun negatif karyawan. Penilai kemudian memakai insiden ini sebagai dasar mengevaluasi hasil prestasi karyawan.

6. Skala penilaian grafis: metode penilaian hasil yang menuntut penilai menunjukkan dengan skala dimana karyawan menilai faktor seperti kuantitas kerja, ketergantungan, pengetahuan kerja, dan kerjasama.

7. Ceklist: metode penilaian hasil dimana penilai menjawab pertanyaan ya atau tidak tentang perilaku karyawan yang dinilai.

8. Skala Penilaian dengan Patokan Perilaku (BARS): metode penilaian hasil yang menentukan tingkat hasil/prestasi karyawan berdasarkan pasti atau tidaknya perilaku kerja yang digambarkan secara khusus.

9. Penilaian pilihan paksaan: metode penilaian hasil yang memerlukan penilainya untuk merangking satu set pernyataan yang menggambarkan bagaimana karyawan melaksanakan tugas dan tanggungjawab pekerjaan.

10. Metode rangking: metode penilaian hasil dimana hasil prestasi karyawan dirangking sesuai hasil karyawan lainnya.











Macam-Macam Kedewasaan



Macam-macam Kedewasaan


2. Kedewasaan Emosi. Banyak perbedaan yang dialami pada area respon emosional berhubungan dengan kegagalan mencapai kedewasaan emosi. Kita telah melihat berulang-ulang pada halaman sebelumnya bahwa kedewasaan adalah suatu kriteria penting penyesuaian yang baik, dan kedewasaan emosi adalah salah satu sifat terpenting dari kriteria umum ini. Menjadi dewasa secara emosional menandakan kapasitas untuk bereaksi secara emosional dalam hal persyaratan yang ditentukan oleh suatu situasi. Jeleknya, ini berarti penjauhan atau penghilangan respon yang tidak sesuai dengan persyaratan ini. Anak bereaksi dengan air mata, ledakan amarah, berteriak, atau bahasa yang buruk atas situasi yang sulit, mengancam, atau membuat frustrasi karena ia tidak dewasa dan tidak tahu cara mengatasi situasi tersebut. Tetapi kita juga melihat ‘orang dewasa’ bereaksi seperti itu karena situasi yang sama, dan kita tanpa ragu menggolongkan reaksinya sebagai kekanak-kanakan atau tidak dewasa. Takut akan kegelapan atau hujan badai guntur, ‘terkikih-kikih’ karena ucapan orang lain, emosi yang tersulut oleh film atau opera sabun, terikat oleh hubungan cinta remaja ketika masih remaja, iri dengan nasib baik orang lain, suka dengan dendam atau skandal, berpegang teguh pada orang tua seseorang selama remaja, dan ‘memuja’ atau mengidealkan ayah atau ibu adalah contoh biasa untuk ketidakdewasaan emosi. Persyaratan kehidupan dewasa membuat semua reaksi itu tidak cukup dan sering kali merusak penyebab penyesuaian yang baik dan khususnya pada kesehatan emosi.

Namun demikian, istilah seperti ‘dewasa’ dan ‘matang’ memiliki banyak pengertian, dan kita seharusnya tidak menggunakan istilah-istilah itu dengan ceroboh. Kedewasaan bukanlah satu sifat, terdapat banyak seginya dan masing-masing harus dipertimbangkan dalam menentukan kriteria untuk mengevaluasinya. Dua fase yang paling dikenal adalah kedewasaaan fisik dan intelektual. Keduanya membentuk titik pangkal yang baik karena pada kebanyakan kejadian, organisme menjadi dewasa secara fisik dan intelektual dengan sedikit kesulitan. Ketika perkembangannya gagal, proses penyesuaiannya menjadi semakin sulit.

1. Kedewasaan Fisik. Kedewasaan fisik memerlukan setidaknya pertumbuhan yang normal dari faktor-faktor seperti ukuran dan berat, tingkat kekuatan, kemampuan dan koordinasi yang diperlukan oleh kerja setiap hari, dan perkembangan fisik demikian sebagaimana adanya penting untuk memelihara kesehatan, stamina dan energi.

2. Kedewasaan Intelektual. Kedewasaan intelektual juga memerlukan tingkat perkembangan yang memungkinkan seseorang mencapai pendidikan yang layak, mendapat keuntungan dengan belajar dan pengalaman, dan mengembangkan kemampuan untuk membuat penilaian yang logis dan obyektif. Dalam ketiadaan beberapa dari sifat-sifat ini, kita harus mempertimbangkan ketidakdewasaan intelektual orang.

Tetapi ini hanyalah bagian kecil dari kedewasaan. Karena manusia juga merupakan makhluk emosional, sosial, moral, agamis, dan ekonomis, kedewasaan memerlukan perkembangan yang cukup dalam wilayah ini juga. Dan disini, ukuran atau kriterianya tidak begitu mudah ditentukan. Overstreet dalam bukunya The Mature Mind (Pikiran Dewasa), menulis satu bab yang berisi kriteria kedewasaan. Kami akan merangkum ini, dan anda akan melihat betapa kompleksnya kedewasaan.

1. Meneruskan minat pada pengetahuan yang luas.

2. Penerimaan tanggungjawab

3. Kemampuan mengungkapkan secara verbal dan berkomunikasi dengan baik dengan orang lain.

4. Hubungan seksual yang kreatif

5. Memahami hubungan dengan orang lain, pertumbuhan dari egosentrisitas ke sosiosentrisitas

6. Perspektif yang cukup, sebuah filsafat hidup.

Terhadap kriteria-kriteria ini, kita bisa dengan mudah menambah yang lainnya, tetapi semuanya contoh yang baik dari apa yang ada dalam pikiran kita. Yang pertama tentu saja adalah bagian dari kedewasaan intelektual, yang kedua adalah dasar untuk perkembangang moral yang cukup, yang ketiga, keempat dan kelima berhubungan dekat dengan kedewasaan sosial, dan yang terakhir berhubungan dengan kedewasaan sosial dan agama.

3. Kedewasaan Emosional. Yang ada disemua aspek kedewasaan adalah kedewasaan emosi. Faktor emosi pada tingkah-laku manusia sering kali ada pada cara pertumbuhan yang sehat. Kedewasaan memerlukan lebih dari apapun lainnya, perkembangan yang memadahi serta pengendalian perasaan dan emosi, dan baik perkembangan maupun pengendalian adalah dasar untuk penyesuaian diri yang baik. Disini lagi-lagi kita melihat hubungan yang dekat antara penyesuaian diri dan kedewasaan. Jadi, orang yang bersifat pemarah, lekas gugup, cemburu, malu, membenci, atau penakut bukanlah dewasa secara emosi maupun dapat menyesuaikan dengan baik. Kedewasaan emosi memerlukan sedikitnya tiga sifat: (1) kecukupan respon emosional, yang berarti bahwa respon-respon ini harus cocok dengan tingkat pertumbuhan. Orang dewasa, yang seperti anak kecil, yang menggunakan tangisan atau ledakan amarah untuk mendapatkan apa yang diinginkannya merupakan ketidakdewasaan secara emosi. (2) tingkat dan kedalaman emosional, yang merupakan suatu aspek perkembangan/pertumbuhan yang cukup. Seseorang yang perasaannya dangkal seperti yang dicontohkan pada orang yang terlalu simpatik, atau seseorang yang kekurangan perasaan seperti keramah-tamahan, perhatian, sayang, dan simpati (orang yang apatis) adalah tidak dewasa secara emosional. Dan yang terakhir (3) Pengendalian emosi, yang dinamakan tidak dewasa yakni orang-orang yang terus menjadi korban rasa takut atau cemas, marah, amukan, kecemburuan, benci dan semacamnya.

Inilah beberapa konsep yang mendasari studi kita tentang penyesuaian diri manusia. Ada yang lainnya seperti kepribadian, konflik, dan frustrasi yang sama pentingnya, tetapi kita akan punya kesempatan menegaskan itu semua pada diskusi selanjutnya. Kita telah mengkhususkan uraian dalam bab ini tentang konsep yang harus kita pahami dengan jelas pada permulaan penyelidikan kita. Tanpa konsep itu kita akan terhambat pada setiap peralihan, khususnya dalam pandangan kerumitan dan keambiguannya. Anda akan banyak memahami kenyataan ini ketika anda masuk lebih jauh pada studi tentang penyesuaian diri.




Motivasi Kerja di Negara Berkembang



Motivasi Kerja di Negara Berkembang


1. Tujuan Penelitian

Teknik peristiwa penting (yang memerlukan responden yang membuat orang bekerja sangat keras) yang sangat sedikit dipakai untuk menguji motivasi kerja di sebuah negara berkembang. Analisis isi peristiwa yang disebutkan oleh 341 responden pada 11 organisasi yang berbeda dan lima kelompok pekerjaan menghasilkan perangkat item utama: (a). perihal kesempatan pertumbuhan dan kemajuan, (b). item-item yang berkenaan dengan sifat kerja itu sendiri, (c). unsur-unsur perlengkapan materi dan fisik, (d). item-item yang berkenaan dengan hubungan antar-perorangan, (e) perhatian mengenai keadilan/kejujuran praktek organisasi, dan (f). item-item masalah pribadi. Item-item ini kemudian dipakai untuk membuat kuisioner untuk 80 orang responden. Frekuensi sebutan item-item yang memotivasi dan yang menghilangkan motivasi sangat berhubungan dengan respon pada kuisioner yang dibuat dari peristiwa-peristiwa kritis. Item-item motivasional mengandung unsur beberapa teori motivasi kerja yang terkenal yang dikembangkan dan diteliti di tempat-tempat kerja di Amerika, tetapi beberapa item mungkin unik untuk negara berkembang. Lebih jauh, terdapat keterangan bahwa beberapa unsur lebih sering disebut sebagai demotivator dan yang lainnya sebagai motivator yang sesuai dengan pemikiran umum yang mendasari teori dua faktor motivasi.


2. Dasar Teori

Riset dalam ilmu-ilmu perilaku terutama dalam psikologi telah membawa kepada perkembangan, pengujian, dan penyaringan beberapa teori dan gagasan (Adam, 1965; Herzberg, Mausner & Snyderman, 1959; Locke, 1968; Vroom, 1964) untuk menjelaskan dan memprediksi motivasi di lingkungan kerja. Kebanyakan riset ini telah mempelajari masyarakat di negara industri maju. Sangat sedikit yang diadakan di negara berkembang, terutama yang kurang berkembang diantara negara-negara itu. Saat ini, ketika bangsa yang terbelakang berusaha mengindustrialisasikan dan membangun ekonominya, mereka menghadapi masalah utama, salah satunya adalah bagaimana memotivasi kekuatan kerja mereka. Masalah motivasi terus mengganggu banyak negara berkembang dan merupakan bukti dari produktivitas yang rendah dari banyak negara berkembang ini, meskipun terdapat peminjaman modal dan teknologi yang ramai dari negara industri.

Meskipun masalah motivasi telah jelas di banyak negara berkembang (produktivitas yang sangat rendah dan komplain yang terus-menerus dari para pemimpin politik di beberapa negara berkembang tentang “produktivitas yang rendah,” “ketidakefisienan,” dan “kurangnya kemauan” untuk bekerja keras pada sebagian tenaga kerja: Lamb, 1979), beberapa penelitian yang sistimatis tentang motif, nilai, kebiasaan dan orientasi yang mempengaruhi perilaku kerja telah diadakan di negara-negara ini. Pengakuan masalah rendahnya produktivitas di negara berkembang mendorong “dialog Selatan-Utara” global, sebuah pertemuan yang paling akhir yang diadakan di Cancun, Meksiko (“Sebuah Pertemuan Puncak Kelangsungan Hidup,” 1981), tetapi sedikit yang sudah dilakukan untuk meneliti motivasi kerja di negara yang industrinya tidak menguntungkan. Malahan, seperti yang benar diamati oleh Heller (1969), penekanan ditempatkan pada pembangunan infrastruktur seperti jalan, rel kereta api, pembangkit listrik, komunikasi, jaringan kerja dan sebagainya. Meskipun aspek-aspek industrialisasi seperti itu memberikan tempat kerja, reaksi yang mereka peroleh dari masyarakat di berbagai belahan dunia tidak akan sama. Dugaan yang implisit tetapi tidak beralasan dalam memberikan tekanan fisik pada faktor manusia adalah bahwa masyarakat di negara-negara ini akan merespon situasi kerja hanya seperti yang dilakukan oleh teman-teman mereka di negara industri. Bagaimanapun juga, “motivasi yang dimiliki anggota, kerja dan kemajuan organisasi mungkin berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya” (Tannenbaum, 1980, hal. 283).

Riset antarbudaya pada motivasi (misal: Barret & Bass, 1976; Tannenbaum, 1980) memiliki batasan-batasannya. Pertama, riset antarbudaya cenderung menekankan perbandingan antarbudaya daripada penerapan praktis yang paling dibutuhkan negara berkembang. Bahkan perbandingan antarbudaya ini telah memasukkan secara relatif beberapa negara berkembang. Lebih jauh, karena para peneliti antarbudaya seringkali memusatkan pada pengesahan teori yang dikembangkan dalam satu budaya di negara lain, mereka bisa kehilangan beberapa dari komponen motivasi dalam budaya lainnya. Kelemahan riset antarbudaya menyebabkan Robert (1970) menyimpulkan tinjauan penilaiannya terhadap riset di bidang psikologi organisasi dengan pernyataan bahwa “tambahan dalam pengetahuan tampak minimal dan mungkin membuang-buang tenaga yang hingga kini ditempatkan dalam kerja antar budaya” (hal. 345).

Dalam studi saat ini, para pekerja diminta menggambarkan peristiwa ketika mereka bekerja “sangat keras” dan ketika mereka “melakukan usaha yang sangat sedikit” dalam kerja mereka, yang berarti tidak bekerja keras. Bekerja sangat keras dan melakukan usaha yang sangat sedikit dalam bekerja dianggap berhubungan dengan motivasi tinggi dan rendah.


3. Metode Penelitian

Wawancara semistruktur dalam bahasa Inggris diadakan menggunakan item-item berdasarkan item yang dipakai oleh Flanagan (1954, hal. 142) dan Herzberg dkk (1959, hal. 141-142). Semua pertanyaan diajukan untuk pengujian awal pada sampel 40 pekerja Zambia sebelum mereka diberikan seperangkat pertanyaan akhir yang dipakai dalam studi ini. Pertanyaan yang kelihatan tidak dapat dipahami atau tidak jelas dan yang tidak menimbulkan respon yang berarti dalam studi percobaan diubah, dibetulkan, atau dihilangkan. Karena beberapa pekerja pada pekerjaan tingkat rendah tidak dapat berbicara, membaca atau menulis dalam bahasa Inggris, pertanyaannya diterjemahkan ke bahasa Zambia (Bemba dan Nyanja) yang digunakan di wilayah industri dan kota utama di negara itu. Teknik penerjemahan-kembali dipakai. Versi Bemba dan Nyanja dipakai hanya oleh pekerja yang tidak dapat berbahasa Inggris (kebanyakan mereka yang termasuk kelompok pekerja umum). Mereka juga diberikan tes awal.


4. Subyek Penelitian

Sampel terdiri dari 341 pekerja Zambia yang meliputi 65 manajer atau administrator senior, 53 pegawai teknis, 72 sekretaris, stenografer dan tukang tik, 62 pramuniaga, dan 84 pekerja setengah ahli dan umum termasuk buruh. Kelima kelompok kerja itu dipilih karena mereka mewakili kategori karyawan/pekerja yang ada pada banyak organisasi. Para pekerja diambil dari pemerintahan, gabungan perusahaan pemerintah-swasta, dan organisasi swasta. Dari 341 pekerja, 55 orang diambil dari departemen pemerintah, 241 orang dari perusahaan gabungan pemerintah-swasta, dan 54 orang berasal dari perusahaan swasta. Sembilam puluh empat pekerja adalah wanita, dan 247 sisanya pria. Usia responden berkisar dari 19 sampai 67 tahun dengan usia rata-rata 31,5 dan baik modus dan mediannya adalah 30 tahun. Lamanya pendidikan berkisar dari 0 sampai 20 tahun dengan rata-rata 11,3 tahun. Modus dan mediannya berturut-turut adalah 13 dan 12 tahun. Lamanya bertempat tinggal di kota dalam sampel bermacam-macam dari 2 sampai 50 tahun dengan rata-rata 21,2. Modusnya adalah 23 dan mediannya 22 tahun.


5. Hasil Penelitian

Variabel motivasi yang diidentifikasi dari analisis isi peristiwa kritis yang sangat memotivasi (“baik”) dan yang berusaha sedikit (“buruk”) ditunjukkan dalam Tabel 1. frekuensi untuk peristiwa kritis yang buruk agak lebih rendah dari peristiwa kritis yang baik. Penjelasan yang mungkin untuk perbedaannya barang kali adalah bahwa para pemegang jabatan dapat menggambarkan perilaku efektif secara lebih efektif daripada perilaku yang tidak efektif mereka dan oleh karena itu cenderung kurang menyebutkan perilaku yang tidak efektif (Vroom & Maier, 1961). Kedua kelompok tema didaftar dalam urutan menurun frekuensi sebutan. Jika frekuensi sebutan dilihat sebagai suatu indikasi besarnya sebuah dampak variabel terhadap motivasi kerja, lalu pengaruh variabel terhadap motivasi meningkat mendekati puncak daftar.

Dari Tabel 1 jelas bahwa banyak tema yang disebutkan dalam peristiwa kritis seperti yang mendorong kerja keras adalah juga yang dihubungkan dengan penghilangan kerja keras. Ialah ketidakadaan atau kurangnya kondisi yang memotivasi upaya tambahan juga penting dalam mengurangi motivasi. Ini benar untuk bayaran, hubungan antarperorangan, promosi (iklan), keamanan kerja, pengawasan, kesempatan untuk tambahan pembelajaran dan pelatihan, dll. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Lawler (1973) bahwa baik “motivator” dan “higien” dapat mempengaruhi motivasi dan demotivasi dan tentu saja bertentangan dengan pemikiran dua-faktor Herzberg (Herzberg dkk, 1959).


6. Kesimpulan

Motivasi kerja di Zambia tampak ditentukan oleh enam faktor yaitu: sifat kerja, pertumbuhan dan kemajuan, perlengkapan/persediaan materi dan fisik, hubungan dengan orang lain, keadilan/ketidakadilan dalam praktek organisasi, dan masalah sosial. Semua kecuali satu dari keenam kategori item timbul mempengaruhi motivasi kerja baik secara positif maupun negatif. Apalagi kategori-kategori ini cenderung memiliki dampak positif/negatif yang berbeda terhadap motivasi, yakni faktor tertentu cenderung memiliki potensi yang lebih besar untuk meningkatkan daripada menurunkan motivasi atau sebaliknya.

Item-item yang disebutkan oleh responden asal Zambia adalah sesuai dengan unsur beberapa (proses dan isi) perumusan motivasi kerja (latar tujuan), teori dua-faktor, teori prestasi keperluan, dan teori keadilan/kewajaran. Pengaruh kuat resolusi yang tidak adil terhadap perilaku kerja adalah jelas dalam item yang berhubungan dengan keadilan/ketidakadilan praktek organisasi. Unsur latar tujuan dan teori prestasi keperluan ada dalam penggolongan sifat kerja.

Studi-studi seperti satu yang dilaporkan disini mungkin terbukti berharga untuk negara berkembang sepanjang mereka membantu para pemimpin di negara-negara ini meningkatkan produktivitas kerja. Tetapi harus diingat bahwa studi ini hanyalah penyelidikan dan riset prediktif retrospektif atau kausal (sebab-akibat) dibutuhkan untuk menghubungkan komponen motivasi pada hasil/akibat semacam itu seperti pergantian, ketidakhadiran, kecelakaan, dan produktivitas. Untuk riset demikian dan juga untuk aplikasi praktis, skala berdasarkan keenam faktor harus dikembangkan dan disyahkan secara lokal.

Riset ini harus ditiru di negara berkembang lainnya, terutama negara yang memiliki kondisi sosial, budaya, dan ekonomi yang mirip dengan Zambia.


Keywords : jurnal psikologi terapan, motivasi kerja







Penelitian Manajerial



PENELITIAN MANAJERIAL


1. METODE PENELITIAN

Pendekatan pengukuran yang dipakai dalam menguji hipotesis adalah metode penyelesaian kalimat. Metode ini dapat ditemukan kembali setidaknya tahun 1928 dan telah dipakai sebagai dasar untuk berbagai macam instrumen yang dipakai baik dalam praktek klinik maupun industri (Bell, 1948). Ukuran ini sangat berbeda, tidak hanya pada sifat asal yang dipakai tetapi juga pada ketelitian dalam menetapkan kategori penilaian untuk penyelesaiannya. Meskipun demikian, muncul konsensus umum diantara mereka yang banyak mengetahui subyek bahwa metode penyelesaian kalimat adalah teknik proyektif yang paling benar (Shouval, Daek, & Ginton, 1975). Kombinasi validitas yang baik dan kekuatan yang menjadi sifat pendekatan proyektif membuatnya amat bernilai untuk tujuan saat ini.

Setiap respon individu dinilai positif, netral, atau negatif berkenaan dengan garis pedoman dan contoh yang ditunjukkan dalam Petunjuk Penilaian untuk Skala Penyelesaian Kalimat Miner (Miner, 1964). Kategori netral dipakai ketika dalam memperluas stem (akar kata) untuk membuat kalimat lengkap, subyek berkata tidak ada yang akan memberikan petunjuk sikap atau motivasinya berkenaan dengan konsep stem.

Subskala pengujian dimaksudkan untuk mengukur variabel komponen teori motivasi peran dari keefektivan kepemimpinan/manajerial (Miner, 1965). Tiap subskala terdiri dari lima stem. Stem yang terdapat dalam subskala yang pertama, index Figur Otoritas, semuanya berkenaan dengan orang-orang atau kelompok yang menunjukkan otoritas/kekuasaan dalam masyarakat. Respon yang positif menunjukkan keinginan untuk memenuhi syarat peran dalam berhubungan dengan orang yang lebih berkuasa.

Dua subskala berikutnya berhubungan dengan motivasi untuk bersaing. Index Permainan Kompetitif hanya terdiri dari lima stem yang menggambarkan berbagai macam permainan dan olah raga. Stem pada subskala situasi kompetitif isinya lebih beraneka ragam, tetapi cenderung berfokus pada aktivitas kerja atau yang berhubungan dengan kerja. Pada kedua hal, respon positif menunjukkan keinginan untuk terlibat dalam persaingan dengan rekan-rekan sebaya, dan sehingga memenuhi syarat kepemimpinan dalam hal ini.

Item Peran Penegasan berkenaan dengan aktivitas yang dalam masyarakat dipandang secara tradisional sebagai sesuatu yang maskulin. Subyek merespon yang dengan sikap positif menunjukkan keinginan untuk bertindak dengan sikap yang tegas, dengan demikian memenuhi harapan untuk kerja manajerial.

Stem subskala Keinginan yang Mengesankan semuanya berkenaan dengan mengarahkan atau mengontrol perilaku orang lain. Item ini berusaha menilai tingkat keinginan atau kemauan, memberitahu orang lain apa yang harus dikerjakan dan memakai sangsi dalam mempengaruhi orang lain. Penyelesaian yang positif menunjukkan kapasitas untuk memenuhi syarat peran dalam berhubungan dengan bawahan.


2. SUBYEK PENELITIAN

Subyek penelitian adalah 138 manajer perusahaan industri mobil yang bekerja pada berbagai perusahaan di seluruh Amerika Serikat. Delapan puluh lima persen memiliki jabatan sebagai supervisor utama, dan sisanya memiliki tugas supervisor yang terbatas pada tanggung jawab teknis atau tenaga ahli. Pekerjaan yang diawasi pada perusahaan-perusahaan itu antara lain produksi, penerimaan, gudang, pemeliharaan, teknik, akunting, Quality Control, standar kerja, pengoperasian komputer, pembelian, personalia, pembayaran gaji, penyimpanan dokumen, buruh, dan lain-lain.

Maksud awalnya adalah mendapat kelompok pria dan wanita, minoritas dan kulit putih yang jumlahnya kira-kira sama. Namun untuk jumlah minoritas wanita hanya 4 orang, sehingga tidak cukup untuk analisis. Oleh karena itu data diperoleh dari 75 pria kulit putih, 36 wanita kulit putih, dan 23 pria minoritas (kebanyakan kulit hitam).


3. HASIL PENELITIAN

Tabel 2 menunjukkan keseluruhan pengujian hipotesis. Hipotesis 1 didukung oleh data. Pada MSCS standar, manajer pria minoritas mendapat nilai yang secara signifikan lebih tinggi daripada pria berkulit putih dan wanita kulit putih. Ini adalah pengujian hipotesis yang utama. Tetapi data dari MSCS khusus pada situasi yang memberikan kolaborasi bahwa perbedaan yang signifikan antara dua sampel pria diperoleh sekali lagi. Perbedaan antara pria minoritas dan wanita kulit putih tidak mencapai tingkat kesignifikanan yang diterima. Ketika kedua ukuran 35 item dipadukan untuk menghasilkan instrumen yang lebih dapat dipercaya, datanya tetap mendukung Hipotesis 1.

Sebaliknya, Hipotesis 2 tidak didukung. Wanita kulit putih tidak mendapat nilai item keseluruhan pada MSCS standar, yang secara signifikan dibawah pria kulit putih. Lebih jauh, ukuran yang khusus pada situasi memberikan hasil yang tidak hanya gagal mencapai kesignifikanan tetapi kenyataannya pada arah yang berlawanan dengan yang dihipotesis. Ketahanan uji yang meningkat yang diberikan oleh ukuran campuran tidak mengubah situasi.

Tabel 3 memberikan informasi pada subskala khusus yang memberikan penemuan keseluruhan dalam mendukung Hipotesis 1. Pada MSCS standar, pria minoritas mendapat nilai lebih tinggi pada Situasi Kompetitif, Peran Penegasan, dan ukuran Fungsi Administratif Rutin. Terdapat bukti-bukti yang kuat untuk Permainan Kompetitif, dan Keinginan yang Mengesankan dari analisis lainnya. Pada dasarnya penemuan-penemuan ini mengusulkan bahwa motivasi yang besar untuk memimpin pria minoritas mungkin sebuah hasil dari lebih banyaknya keinginan yang kuat untuk bersaing, mengambil tugas, menggunakan kekuasaan, dan menegaskan mereka sendiri.


4. KESIMPULAN

Berkenaan dengan penemuan pria minoritas, terdapat kemungkinan bahwa diskriminasi sebelumnya telah terjadi selama bertahun-tahun untuk menimbun bakat kepemimpinan kaum minoritas pada tingkat pengawasan yang pertama, daripada menyebarkannya secara merata ke semua tingkat manajemen ketika promosi yang pantas terjadi. Dengan hipotesis ini, kaum minoritas dengan nilai motivasi yang tinggi untuk memimpin akan dihalangi untuk promosi lebih jauh dan ditahan pada tingkat pertama, sedangkan kaum kulit putih akan naik dan karenanya tidak akan muncul dengan jumlah yang sama pada bagian terbawah hierarkhi manajerial.

Apakah ini benar, pria minoritas harus lebih tua dari dua kelompok lainnya pada supervisor tingkat pertama, dan orang juga akan mengira bahwa diskriminasi akan mencerminkan tingkat pendidikan yang tinggi diantara manajer dari kaum minoritas pada tingkat yang sama seperti kaum kulit putih. Perkiraan ini didasarkan pada banyaknya konsep kualifikasi yang menyatakan bahwa kaum minoritas harus dilatih dan dididik lebih baik dari kaum kulit putih untuk mencapai tingkat jabatan yang sama.

Data tidak mendukung semua hipotesis ini. Usia rata-rata pria minoritas adalah 35,8 tahun, di bawah usia rata-rata wanita kulit putih (38,3 tahun) dan di atas usia rata-rata pria kulit putih (34,1 tahun). Di luar hal itu, perbedaannya mendekati signifikan (t = 1,09 dan 0,90). Ketika tingkat pendidikan dinilai pada skala 1 (lebih kecil dari lulusan SMA) sampai 5 (studi pascasarjana), pria minoritas memperoleh nilai rata-rata 2,9 yang hampir sama dengan nilai untuk pria kulit putih. Rata-rata nilai untuk wanita kulit putih adalah 2,4, sebuah nilai yang mendekati signifikan dibandingkan dengan pria minoritas (t = 1,93, p<0,10).>Buktinya, wanita kulit putih kurang terdidik dengan baik dan lebih tua dari pria kulit putih. Perbedaan ini tidak mempunyai pengaruh pada penemuan utama, karena usia dan pendidikan tidak berhubungan dengan MSCS.