Wednesday, November 11, 2009

Studi Kasus Tentang Penilaian Perilaku dan Perawatan Terhadap Fobia Serangga



STUDI KASUS TENTANG PENILAIAN PERILAKU DAN
PERAWATAN TERHADAP FOBIA SERANGGA

"Kami menilai prestasi akademik anak usia 14 tahun dengan fobia serangga dalam hubungannya dengan rangsang yang ditakuti. Ukuran terikatnya adalah nilai perhitungan pasti melalui tiga kondisi yang membeda-bedakan pernyataan ahli terapi mengenai adanya jangkerik dan keberadaan yang nyata jangkerik hidup. Perawatan berikutnya meliputi penyingkapan yang bertingkat-tingkat dan hadiah yang tergantung untuk penyelesaian persoalan pasti. Hasil penilaian menunjukkan bahwa prestasi anak tetap rendah dengan adanya jangkerik hidup tetapi tidak ketika ia diberi informasi palsu bahwa ada jangkerik (hal penyerahan primer). Hasil perawatan menunjukkan tidak ada efek penyingkapan itu sendiri dan sebuah efek dramatis saat penyingkapan dipadukan dengan hadiah yang tergantung."
Deskriptor: penilaian perilaku, kecemasan, fobia serangga, gangguan perilaku, analisis perilaku klinis.
Di antara ribuan karangan ilmiah yang terbit mengenai gangguan kecemasan, hampir semuanya melaporkan pemakaian bentuk penilaian tradisional seperti skala, daftar pilihan pertanyaan, dan inventaris rasa takut (friman, Hayes, & Wilson, 1998; King, 1993). Satu subset gangguan kecemasan yang respon campurannya kelihatan sesuai untuk penilaian perilaku adalah fobia serangga (entomophobia). Penghindaran atau larinya seseorang dari serangga memperkuat tingkatan susunan yang berbeda dari perilaku maladaptif. Perawatan konvensional untuk fobia serangga melibatkan penyingkapan ulang terhadap rangsang yang tersusun secara hierarkhi dengan sifat resmi yang menyerupai anggota pokok klas fobia (misal: jangkerik) dan terhadap rangsang yang berbeda, dengan fungsi yang sama. (misal: ejekan tentang adanya jangkerik) (Friman dkk, 1998:King’ 1993). Ketika penilaian perilaku digunakan untuk mengevaluasi perawatan, pada dasarnya mereka memfokuskan pada pendekatan terhadap rangsang fobia. Sekalipun begitu, karena kriteria diagnosis untuk fobia meliputi prestasi yang terganggu, memasukkan ukuran prestasi ke dalam penilaian akan memberikan lebih banyak analisis perilaku yang lengkap dan relevan secara klinis (Friman dkk, 1998). Kami tidak menemukan studi tentang penilaian dan perawatan fobia serangga yang memakai prestasi sebagai ukuran ketergantungan. Tujuan studi saat ini adalah mengevaluasi penilaian dan perawatan fobia serangga menggunakan respon akademis sebagai ukuran terikat/ketergantungan.

METODE

Partisipan
Mike, seorang anak berusia 14 tahun yang didaftarkan di SMP di Boy’s Town, mendapat perhatian dari kepala sekolahnya karena adanya serangga di dalam kelas dan ejekan soal serangga benar-benar mengganggu prestasi akademiknya. Mike melaporkan bahwa ia mengalami kesulitan berkonsentrasi dan bekerja saat ia berpikiran binatang-binatang kecil bisa muncul dan bahwa ia sering digoda teman-temannya (seperti: “Mike, ada binatang di bawah kursimu!”). Responnya untuk melihat serangga mengabaikan pekerjaannya, memakai kerudung pada jeketnya, atau berteriak-teriak. Mike mengenal jangkerik, laba-laba, dan kumbang kecil sebagai serangga-serangga yang paling ia takuti.
Pengukuran
Meskipun rangsang fobia bisa mempengaruhi perilaku dengan berbagai cara, kita memfokuskan pada prestasi akademik karena ini merupakan masalah utama yang dilaporkan oleh kepala sekolahnya. Pengukuran ketergantungannya adalah nilai hasil kerja Mike dengan adanya jangkerik yang dibeli dari toko hewan peliharaan lokal. Dua atau tiga pemeriksaan yang tepat selama 4 menit dilakukan tiap sesi, selama itu Mike duduk di bangku dalam sebuah ruang kerja (7 m x 7 m) dengan satu dari 30 lembar soal kelas tiga yang bergantian di atas meja. Mike diperintahkan untuk menyelesaikan soal sebanyak mungkin dan nilai responnya adalah jumlah rata-rata yang benar tiap pemeriksaan 4 menit. Dua puluh lembar soal (26%) dinilai sendiri oleh ahli terapi dan orang lain. Kesepakatan para penilai yang dihitung dengan membagi kalkulasi yang lebih rendah dengan yang paling tinggi dan mengalikan dengan 100%, direntang dari 80% sampai 100% (M = 98%).

Penilaian
Kami menilai efek hadirnya/adanya serangga, tidak adanya serangga, dan pernyataan lisan mengenai serangga terhadap nilai respon akademik Mike. Di antara pelaksanaan pemeriksaan matematis, Mike dan ahli terapi terlibat dalam percakapan sepintas lalu dalam 15 sampai 20 menit (seperti: olah raga, nilai, teman).
Serangga. Mengikuti instruksi, ahli terapi melepaskan tiga jangkerik hidup di tengah lantai dan pergi.
Katakan serangga. Dengan kondisi Mike yang berada di luar, ahli terapi memindahkan jangkerik dan memeriksa ruangan untuk memastikan tidak ada serangga. Lalu ia membawa Mike masuk kembali dan berkata, “Ada serangga di dalam ruangan ini.”
Tak ada serangga. Kondisi ini sama dengan kondisi katakan serangga kecuali bahwa ahli terapi berkata pada Mike, “Tidak ada serangga dalam ruangan ini.”
Perawatan/Perlakuan
Dua kondisi perlakuan diterapkan yaitu (a) penyingkapan bertingkat dan (b) penyingkapan bertingkat plus penguatan.
Penyingkapan bertingkat. Mike terlibat dalam 15 sampai 20 menit latihan penyingkapan bertingkat segera sebelum pemeriksaan. Latihan ini termasuk sebuah hirarki tugas pendekatan perilaku, dari membawa satu guci berisi jangkerik sampai membawa satu jangkerik dengan masing-masing tangan selama 1 menit (lihat Tabel 1). Mike memilih tingkat penyingkapan pertama untuk tiap sesi dan terus sampai ia menolak melakukan langkah berikutnya. Mike menyelesaikan enam langkah dengan bantuan selama sesi pertama, dan menyelesaikan sendiri sembilan langkah sampai sesi terakhir. Sesudah itu, waktunya ditambah (misal: memegang seekor jangkerik selama 40 detik sampai 60 detik).
Tabel 1
Langkah-langkah dalam Hirarki Penyingkapan Bertingkat
  1. Memegang sebuah guci berisi jangkerik.
  2. Menyentuh jengkerik dengan kaki.
  3. Memejamkan mata selama 60 detik sambil berdiri dalam ruangan berisi jangkerik.
  4. mengambil seekor jangkerik dengan selembar kertas.
  5. Mengambil seekor jangkerik dengan sarung tangan.
  6. Memegang seekor jangkerik selama 20 detik dengan tangan kosong.
  7. Membiarkan jangkerik merayap pada kaki bercelana.
  8. Membiarkan jangkerik merayap pada tangan telanjang.
  9. Memegang jangkerik dengan masing-masing tangan selama 20 detik.
Penyingkapan bertingkat plus penguatan. Fase ini identik dengan kondisi penyingkapan kecuali bahwa Mike memperoleh poin untuk tiap langkah yang benar. Poin-poin ini ditukar pada akhir tiap-tiap minggu untuk item-item dari menu penguatan, meliputi sertifikat bakat Blockbuster, video, permen dan Legos.
Disain Percobaan
Sebuah disain multielemen dipakai untuk mengevaluasi akibat dari tiga kondisi penilaian. Disain A-B-BC-A-BC dipakai untuk membandingkan akibat kondisi percobaan. Prestasi Mike selama kondisi serangga yang pertama disajikan sebagai fase dasar awal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data penilaian pada panel pertama Gambar 1 menunjukkan tingkat kebenaran yang tinggi pada kondisi tak ada serangga relatif terhadap kondisi lainnya, pada awalnya rendah tetapi meningkat pada kondisi katakan serangga, dan tingkat yang rendah pada kondisi serangga. Data perlakuan/perawatan menunjukkan tidak ada kemajuan dalam kondisi penyingkapan dan tren yang meningkat pada kedua fase penyingkapan plus penguatan. Fase sebaliknya menghasilkan penurunan skor yang sedang, dengan dua sesi terakhir menghasilkan lebih sedikit soal yang benar dari pada sesi lainnya dari tiap fase perawatan gabungan.
Keterangan:
Gambar 1. Jumlah rata-rata soal yang benar tiap pemeriksaan 4 menit melalui penilaian (BL), penyingkapan bertingkat (G-E), dan kondisi penyingkapan plus penguatan (G-E+RF)
Hasil ini menunjukkan nilai penilaian perilaku praperawatan untuk menghilangkan fobia serangga. Meskipun guru melaporkan ejekan sebagai masalah utamanya, hasil penilaian menunjukkan bahwa kurangnya prestasi didukung oleh adanya jangkerik. Masalah prestasi dalam kondisi katakan serangga terpecahkan selama penilaian ketika rangsang lisan ini dihadirkan berulang-kali dalam keadaan tidak ada serangga. Hasil juga menunjukkan nilai perilaku adaptif yang menjadi sasaran yang secara langsung dipengaruhi oleh rangsang fobia dari pada pendekatan semata atau tindakan tidak langsung terhadap rasa takut atau cemas (Friman dkk, 1998). Terakhir, hasil memberi kesan bahwa hadiah-hadiah yang terprogram, ketergantungan pada respon adaptif, kadang-kadang diperlukan untuk mengatasi penguatan negatif yang diperkirakan dari penjauhan diri atau penghindaran terhadap rangsang fobia.

Kami menganggap studi ini sebagai pendahuluan karena efek buruk perawatan tidak meyakinkan. Tingkat perhitungan pasti selama fase dasar kedua kemungkinan karena akibat praktek dan keterlibatan serangga yang berulang-ulang. Persoalan yang kedua berkenaan dengan disain yang menyerupai akibat perawatan gabungan tetapi tidak membolehkan perbandingan langsung (B-BC) antara dua komponen perawatan. Batasan yang ketiga adalah bahwa kami secara resmi tidak menilai generalisasi. Informasi anekdot menyarankan bahwa generalisasi terhadap serangga, setting, dan perilaku adaptif lainnya mungkin terjadi. Guru Mike melaporkan bahwa ejekan teman-temannya telah banyak berkurang dan bahwa Mike tidak responsif saat ada ejekan. Apalagi penulis yang pertama mengamati bahwa Mike membunuh seekor laba-laba memakai kertas tisu segera setelah pelajaran berakhir. Meskipun terbatas, kami berharap studi ini merangsang untuk riset-riset lainnya pada penilaian perilaku dan perawatan terhadap fobia.





Pengaruh Kuat Lima Besar Sifat Kepribadian Terhadap Laporan Masalah Perilaku Anak Oleh Informan Yang Berbeda



Pengaruh Kuat Lima Besar Sifat Kepribadian Terhadap Laporan

Masalah Perilaku Anak Oleh Informan Yang Berbeda


Jurnal Psikologi Anak Abnormal, April 2005 oleh Gert Kroes,

Jan W. Veerman, Eric E.J. De Bruyn


Penilaian masalah perilaku anak berbeda menurut informan dan situasinya. Selalu hanya kesepakatan sederhana ditemukan di antara penilaian informan yang berbeda tentang fungsi anak (Achenbach, McConaughy, & Howel, 1987; Stanger & Lewis, 1993). Fenomena ini membentuk hambatan utama bagi peneliti dan ahli klinik yang sedang mencoba menilai perilaku dan masalah emosional anak secara akurat. Berbagai alasan untuk ketidaksepakatan telah diusulkan yaitu mekanisme umum seperti perangkat respon, sifat disukai, atau kemauan melaporkan perilaku negatif dari pihak informan (Youngstrom, Loeber, & Stouthamer-Loeber, 2000); faktor kepribadian informan seperti depresi dan kecemasan (Briggs-Gowan, Carter, & Schwab-Stone, 1996); faktor interaksional seperti hubungan anak dengan orang tua (Treutler & Epkins, 2003). Perilaku anak juga dapat berbeda sesuai situasi rumah, sekolah, tetangga, dan klinik (Kolko & Kazdin). Karena para informan yang berbeda itu mengamati anak-anak dalam situasi yang berbeda, maka situasi juga bisa memainkan peran yang penting dalam penciptaan ketidaksepakatan antar informan. Dalam studi ini, pengaruh kuat faktor kepribadian informan dalam laporan masalah perilaku anak diperiksa sambil mengontrol perbedaan situasional.


Pengaruh faktor-faktor kepribadian informan, khususnya depresi maternal, dalam laporan masalah perilaku anak telah sering diuji (cf. chilcoat & Breslau, 1997; Kroes, Veerman, & Be Bruyn, 2003; Youngstrom, Izard, & Ackerman, 1999). Pada banyak studi, tingkat masalah perilaku anak yang tinggi yang dilaporkan oleh para ibu diketahui dihubungkan dengan tingkat gejala depresif yang tinggi dalam diri para ibu sendiri. Pertanyaannya adalah bagaimana menafsirkan penemuan ini: Apakah laporan para ibu yang memiliki tingkat depresi tinggi mencerminkan tingkat masalah perilaku yang meningkat pada anak mereka, atau apakah depresi maternal (berhub. dg ibu) mengubah persepsi mereka tentang perilaku anak? Richters (1992) menjelaskan dua perspektif berbeda ini pada persepsi perilaku anak sebagai model keakuratan dan model distorsi. Pada banyak studi, psikopatologi maternal telah dijelaskan menyebabkan distorsi (misal, Conrad & Hammen, 1989) atau prasangka dalam laporan ibu mengenai masalah perilaku anak telah menjadi minimal, dan sedikit atau tidak memiliki arti klinis (Sawyer, Streiner, & Baghurst, 1998). Studi-studi terbaru melaporkan hasil-hasil campuran yang menyarankan bahwa kedua model dapat menggunakan: psikopatologi maternal, dapat dihubungkan dengan masalah perilaku diantara anak yang meningkat, dan ibu dengan gejala psikopatologi dapat melaporkan insiden dan/atau peliknya masalah tersebut (misal, Chilcoat & Breslau, 1977; Najman dkk, 2000).


Kebanyakan studi yang disebut diatas telah dihambat oleh masalah metodologis. Seperti ditunjukkan oleh Richters (1992), hipotesis keakuratan dan hipotesis distorsi memprediksi laporan perilaku anak yang lebih bermasalah dengan orang tua dengan gejala kejiwaan. Untuk menetapkan apakah laporan ini mencerminkan masalah anak yang sesungguhnya atau persepsi orang tua yang terdistorsi, diperlukan penilaian criteria yang “sah, bebas dari pengaruh depresi maternal” sendiri dan berdasarkan pada sampel “situasi dan perilaku sebanding dengan yang dicontohkan oleh penilaian ibu” (Richter, hal 487). Dalam semua studi yang ditinjau oleh Richters, situasi dan perilaku berbeda menurut informan. Oleh karena itu, perbedaan antara penilaian ibu dan kriteria bisa dianggap berasal dari perbedaan yang populer pada perilaku anak karena situasi (Achenbach dkk, 1987). Sebagai akibatnya, studi gagal memberikan bukti yang meyakinkan untuk pengaruh yang mendistorsi psikopatologi informan. Persyaratan rancangan terpenting untuk menguji hipotesis distorsi adalah standarisasi kerangka sampling perilaku anak untuk ibu dan informan kriteria. Ketika kondisi ini telah dijumpai, bukti-bukti berikut ini kemudian akan dibutuhkan untuk memberikan dukungan bagi hipotesis distorsi: “(a) ketidaksepakatan yang berhubungan dengan depresi antara ibu dan penilai kriteria dan (b) superioritas/keunggulan (misal, keakuratan) penilaian kriteria terhadap penilaian ibu” (Richters, hal 487). Akhirnya, Richters juga telah mengusulkan bahwa studi lapangan harus ditambah dengan studi laboratorium, contohnya sampel rekaman perilaku anak, sehingga memudahkan kontrol yang lebih banyak terhadap perilaku anak untuk diteliti.


Hanya sedikit studi yang dengan sengaja dirancang sesuai dengan ketentuan metodologi Richters hingga saat ini. Dalam sebuah studi laboratorium oleh Youngstrom dkk (1999), penilaian ibu atas sampel perilaku anaknya yang terekam dibandingkan dengan penilaian pengamat independen. Analisis multi regresi menunjukkan hubungan antara penilaian maternal dan penilaian peneliti yang direntang dari .32 sampai .41 untuk bermacam-macam tipe perilaku anak. Setelah menghilangkan perbedaan penilaian maternal dan peneliti, disforia maternal kemudian ditemukan untuk menjelaskan 2,3 – 20% perbedaan sisanya. Menariknya, korelasi yang ditemukan di antara informan yang berbeda dalam studi laboratorium ini sangat paralel dengan korelasi khusus yang ditemukan dalam riset lapangan (Achenbach dkk, 1987), dan banyaknya perbedaan yang dijelaskan oleh distres maternal di bawah kondisi laboratorium yang dikontrol dengan baik adalah sama dengan banyaknya perbedaan yang dijelaskan oleh depresi dalam studi lapangan (Fergusson, Lynskey, & Horwood, 1993).


Dalam studi yang berhubungan, Johnston dan Short (1993) menguji hubungan simptomatologi depresif dengan persepsi perilaku anak bagi ibu dan mahasiswi. Lebih jelasnya, wanita dewasa diminta untuk melengkapi ukuran simptomatologi depresif dan menilai perilaku aktor anak yang direkam. Untuk ibunya, gejala depresif berhubungan dengan persepsi yang lebih negatif dari perilaku anak yang diinternir dan dari perilaku prososial. Mahasiswi dengan gejala yang lebih depresif memiliki persepsi yang kurang positif terhadap perilaku prososial dan memberi penilaian menyeluruh yang lebih negatif terhadap perilaku yang dieksternalisir.


Hasil studi oleh Johnson dan Short (1993) menyarankan bahwa simptomatologi depresif secara negatif dapat mempengaruhi persepsi orang dewasa mengenai perilaku anak, dan bahwa distorsi persepsif tidak terbatas pada ibu dengan depresi yang menilai anak mereka yang bermasalah tetapi juga berlaku pada orang dewasa lainnya dengan gejala depresi yang menilai anak-anak tidak dikenal. Ini menekankan perlunya, seperti baru saja di tekankan oleh Richters (1992), untuk menguji pengaruh depresi pada orang dewasa yang bekerja secara profesional yang memiliki anak, yang dapat melibatkan guru, dan perawat anak. Ini juga memunculkan pertanyaan apakah keakraban dengan anak menimbulkan distorsi seperti dijelaskan oleh beberapa studi (Kendziora dan O’Leary, 1998; Lorber, O’Leary, & Kendziora, 2003; Snar, Strassberg, & Slep, 2003). Sebagai contoh, Kendziora dan O’Leary (1998) membandingkan penilaian ibu terhadap rekaman perilaku anak mereka sendiri dan anak yang tidak dikenal dengan penilaian pengamat independen. Mereka menemukan bahwa para ibu melaporkan lebih sedikit perilaku negatif anak mereka dari pada pengamat, dan juga bahwa para ibu mengevaluasi perilaku anak mereka lebih kurang negatif dari pada perilaku anak yang tidak dikenal.